Monday, March 5, 2007

Penundukan Paradigma (teori Laba-laba)





PENUNDUKAN PARADIGMA?
(Kajian Kritis Terhadap buku ”Islamic Studies
Di Perguruan Tinggi” Karya Amin Abdullah)
Oleh: Akhmad Arifin Al Djawi*



Amin Abdullah dalam bukunya: Islamic Studies, memfokuskan diri pada kritik terhadap epistemology, aksiologi maupun ontologis terhadap pemikiran ulama-ulama terdahulu. Dalam pemikiran epistemology lama, tradisi pemikiran bayani merupakan pemikiran yang dominant dalam kancah pemikiran islam sampai sekarang ini. '
Dalam epistemology bayani suatu kebenaran tergantung pada teks lahir. Segala sesuatu mana yang benar dan salah, tergantung apakah hal tersebut sesuai atau tidak dengan teks. Kalau tidak cocok, maka ia adalah salah sedangkan apabila ia sesuai maka ia adalah benar adanya. Sehingga penalaran model seperti ini mempunyai sifat benar dan salah, deduktif (qiyas), apologis, tertutup (lihat hal.202-203) .
Padahal suatu paradigma tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran bukan karena ia benar secara sendirinya (transcendent), tetapi hal tersebut lebih dikarenakan kemenangan politis maupun sosiologis. Paradigma bayani didukung oleh para ulama kalam, ahli fiqih serta dilegalkan oleh politisi penguasa sehingga dengan aspek kesejarahan ini, paradigma bayani mampu mengalahkan secara histories atas epistemology burhani dan irfani(hal. 202).
Sehingga pengkajian terhadap islam histories harus lebih didahulukan daripada kajian islam normative. Pengkajian historistik merupakan kajian yang kritis, mendalam, interpretative, dialogis sehingga ia lebih mempunyai sifat inklusif dan pluralisme. Kajian model historistis ini lebih dipengaruhi oleh para filsuf keilmuan barat, semisal Thomas Kuhn yang melakukan kajian histories terhadap paradigma keilmuan modern (positivistik) (hal.43).
Sehingga dengan menggunakan metode yang sama, ia melakukan langkah yang sama terhadap kajian islam. Menurutnya, bahwa kredo, ajaran, dogma berbeda dengan keyakinan atau keimanan transcendental. Kredo/dogma adalah mempunyai sifat arbitrer, otoritatif, histories sedangkan keimanan merupakan aspek normativitas yang statis, abadi, tidak berubah. Sehingga kritik terhadap paradigma atau pun kredo merupakan kritik terhadap pemahaman author (ulama) bukan pada aspek keimanan atau normativitas (lih. hal. 73).
Permasalahan terletak pada subyektivitas, relativitas dan pluralisme pemahaman terhadap teks (aspek normative). Dan pemahaman terhadap teks tergantung pada keadaan, sifat pribadi, factor sosiologis-politis serta konteks waktu dan tempat. Sehingga pemahaman terhadap teks bersifat dinamis dan bukan statis. Sehingga tidak diperlukan adanya suatu pemaksaan atau penundukkan terhadap cara baca teks. Teks senantiasa terbuka pada penafsiran, sehingga ulama sebagai otoritas sebagai pemuka umat tidak mempunyai hak untuk memaksakan penafsiran .
Selain dalam segi epistemology, dalam segi ontologis ia melakukan alternative pemikiran yang lain. Dengan langkah yang sama seperti dilakukan Cak Nur yang merekonstruksi tafsir "muslim", dalam bukunya, Amin Abdullah, mengelaborasi istilah "fitrah" dan "din". Fitrah merupakan wilayah kekosongan atau alam pra-bahasa, sedangkan dalam din yang berarti agama, dimengerti sebagai agama islam yang dibawa nabi Muhammad adalah salah satu dari sekian banyak agama di dunia yang mempunyai satu hakekat atau sumber yang sama (hal. 236). Sehingga pemikiran islam Amin Abdullah lebih menekankan aspek Perenialisme dan pluralisme.
Sehingga sebagai alternative pemikirannya, maka diperlukan suatu macam proses dialogis dengan pemikiran barat, karena kemunculan filsafat islam lahir karena persentuhan, dialog, respon dan perkawinannya dengan tradisi pemikiran di barat. Kalau dulu para filsuf muslim seperti Ibnu Sina, Al Farabi dan Ibn Rusyd bersentuhan langsung dengan filsuf Yunan (Aristoteles dan Plato), maka ummat muslim sekarang seharusnya melakukan hal yang serupa dengan kecenderungan filsafat Barat kontemporer (hal. 316).
Filsafat barat kontemporer ditandai dengan pluralisme dan dekonstruksionalisme, dimana tidak adanya suatu kemungkinan terjadinya truth claim, sehingga kebenaran dipahami sebagai mempunyai sifat pluralistic. Sehingga sikap keterbukaan dan pluralisme serta dekonstruksi terhadap truth claim merupakan suatu hal yang urgen yang dilakukan oleh para pemikir muslim[1].
Kalau tidak dilakukan suatu proses dialogis maka akan terjadi kemacetan atau kebuntuan berfikir. Sehingga ummat muslim selalu mengulang-ulang teks-teks yang ditulis ulama terdahulu yang dianggap final, tertutup, tabu terhadap kritik dsb. Sehingga dalam hal ini diperlukan cara berfikir yang histories dengan menggunakan sarana ilmiah untuk meruntuhkan paradigma atau struktur bangunan pemikiran islam, yang berupa fikh, kalam, tasawuf dan epistemology bayani yang telah dianggap sebagai baku dan final (hal. 189).
dalam mendekonstruksi bangunan pemikiran islam, Amin Abdullah mengambil corak berfikikirnya Lakatos, yaitu tentang protective belt dan hard core. Protective belt merupakan struktur pemikiran islam, paradigma, epistemology yang mempunyai sifat histories, terbuka, interpretasi dan debatable sedangkan wilayah hard core merupakan wilayah sacral, dimana wilayah ini merupakan aspek normativitas atau keyakinan dasar yang aman dari kritik .
Sampai di sini dulu pembahasan singkat tehadap point-point dan corak pemikiram Amin Abdullah di antara berbagai corak dan produk pemikirannya yang beragam. Menurut hemat penulis, ada kesan "usaha penundukan" corak berfikir yang sangat beragam (pluralitas) dalam tulisan-tulisannya. Seharusnya dengan gaya berfikir pluralis-historistik dihindarkan sikap menegatifkan corak berfikir yang lain dan menganggap corak pemikirannya yang harus diikuti dan diterapkan dalam system pendidikan, sehingga ada inkonsistensi atau tidak konsistennya antara gaya berfikir yang inklusif yang dicirikan sebagai dialogis dan menghargai menjadi corak yang menundukkan gaya berfikir tekstualis-sakralis.
Bahkan dalam karyanya Amin Abdullah terkesan akan usaha perlunya menjadikan islam sebagai obyek penelitian histories. Mau tidak mau, mengaku atau tidak mengaku, gaya berfikir ini akan menggoyang tatanan kesakralan yang merupakan suatu yang inhern dalam berfikir "agamis". Adakah agama yang tidak mempunyai sikap sacral dalam pengalaman beragamanya, Termasuk komunisme yang merupakan psedo-agama?.
Agama ketika ditinjau dari sudut pandang sosiologis akan kita dapati agama hanyalah hasil interaksi social, ditinjau dari sudut pandang sejarah agama hanyalah sebagai produk tarik-menarik kepentingan penguasaan, sedangkan agama ditinjau dari psikologi, ia hanyalah merupakan suatu hasil imajinasi manusia yang mempunyai tuntutan emosional. Sehingga apabila agama dijadikan obyek pengetahuan, maka akan terjadi proses "reduksional" ke dalam proses yang sifatnya alami (naturally). Sehingga agama bukan sebagai hal yang transcendent.
Selain itu ilmu positivistic (sosiologi dan psikologi) tidak memungkinkan adanya suatu hal yang "Transendent" sebagai suatu hal yang "ada". Apabila dikatakan perlunya tinjauan agama dari sudut pengetahuan atau filsafat barat, maka pertanyaannya adalah, "bagaimana jadinya kalau pemahaman agama islam ditinjau dari psikoanalisa Sigmund Freud?" apakah agama sebagai ilusi palsu dari alam bawah sadar, atau ia sebagai dari proses pengalihan dari insting seksual[2]? Apakah metode ini sah menurut Amin Abdullah? Apabila sah, maka hal tersebut bertentengan dengan prinsip spiritual yang menjadi basis ontologis dalam pemikiran Amin Abdullah (hal. 235), tetapi kalau tidak maka juga terjadi inkoherensi dalam pemikirannya, bahwa tidak ada suatu lembaga apapun yang berhak memaksakan kebenaran (hal. 279).
Sedangkan pemikiran historisitas atau tinjauan dari aspek kesejarahan, akan berdampak pada desakralisasi, tidak hanya dalam pemikiran islam, tetapi "keyakinan" islam itu sendiri sebagai bagian dari sejarah. Mungkin di sinilah letak perbedaan antara penulis dan Amin Abdullah. Kalau penulis agama diartikan bukan sebagai bagian dari konsep pemikiran yang menyejarah, tetapi ia adalah keyakinan atau prinsip keimanan yang mempunyai aspek kesucian akan sesuatu, dalam hal ini islam. Sedangkan Amin memfokuskan diri pada agama yang terjelma dalam bentuk lembaga, dimana lembaga ini berperan sebagai author, yang berhak mengatasnamakan kebenaran dan agama untuk memaksakan penafsiran terhadap audiens atau reader (masyarakat pembaca text) (lihat bab. 3.3).
Sebenarnya Amin Abdullah ingin menegaskan bahwa semua bentuk keyakinan atau system kepercayaan adalah melekat pada historisitas manusia. Sehingga tekanan pada pembedaan antara hard Core (ajaran inti) dan Protective belt (sabuk pengaman) menjadi rancu. Seolah sabuk pengaman dijadikan tameng "agama" biar agama tidak bisa dikritisi, biarlah yang dikritisi hanyalah protective belt (sabuk pengaman).
Protective belt meliputi: kalam, falsafah, fiqh dan tasawuf. Keempatnya adalah produk pemikiran sejarah yang sama-sama berlandaskan kepada al Qur'an. Tetapi keempatnya mengalami sejarah konflik yang begitu tajam. Kalam dan fiqh di satu pihak dengan tawawuf dan filsafat di bagian yang lain (hal. 142-145). Kalam dan fiqh yang bersifat kaku, tekstual, ekslusif, tertutup merupakah paham yang mendominasi pemikiran islam sampai saat ini, sedangkan tasawuf dan filsafat mengalami kemunduran paska Ibnu Rusyd.
Berhentinya Pemikiran filsafat yang bercorak dinamis, kritis, radikal, dialogis mengakibatkan cara berfikir islam yang jumud, statis, universal, final, dsb. Sehingga pemikiran islam telah berhenti sejak 500 tahun yang lalu. Sedangkan dalam dunia Kristen, filsafat mengalami perkembangan yang maju. Dimulai oleh Descartes, John Locke, sampai pemikiran eksistensialis dan fenomenologis. Sehingga islam telah ketinggalan jauh dari filsafat barat.
Penulis akan terlebih dahulu mengkritisi pendapat Amin Abdullah tentang Hard core dan Protective Belt yang diambil dari Lakatos dan disintesiskan denngan pemikiran Fazlurrahman. Dalam pemikirannya tentang kajian kritis terhadap paradigma, epistemology serta aksiologi yang dihasilkan oleh ulama mutaqadimin, maka pertanyaan, sejauh mana produk pemikiran protective belt (pemikiran lapis kedua dalam jarring laba-laba) yang merupakan mempunyai sifat histories. Apakah produk Ilmu kalam yang menyatakan bahwa al Qur;an adalah Wahyu Allah, Allah bersifat wujud (ada), Nabi dijamin kejujurannya, wahyu al Qur'an bukan wahyu akal-akalan, Al Qur'an adalah wahyu yang otentik. Apakah hasil-hasil pemikiran ilmu kalam tersebut merupakan bagian dari sifat arbitrer, kesepakatan social (ulama), mempunyai sifat histories, oleh karena itu dapat dipertanyakan, dikritisi dan didekonstruksi?. Apa yang tersisa dari islam selain sifat sosio-historisnya? Apabila theology didekonstruksi maka bangunan kepercayaan akan mengalami kehancuran dan terjadi anomaly-anomali yang lebih besar lagi, adakah suatu agama yang tidak mempunyai kepercayaan apapun?
Penulis akan mengilustrasikan pemikiran Hard Core dan Protective Belt melalui cerita "Seorang preman dan Anak Pelacur". Suatu hari tanpa sebab yang tidak pasti Preman memukul dan memaki-maki anak pelacur, "dasar Anak tak berguna dan Anak Perempuan sundal", maka dengan merintih kesakitan sang Anak Pelacur itu bertanya "kenapa kau menyakitiku, mnghinaku dan menghina ibuku?" Sang Preman pun menjawab, "aku tidak menyakitimu, aku hanya mengayunkan tanganku hanya pada tubuhmu bukan pada kamu. Aku juga tidak menghina ibumu, aku hanya menceritakan salah satu sifat ibumu saja"
Dalam ilustrasi cerita tersebut, benar bahwa preman tidak menyakiti dan menghina anak dan ibu si anak tersebut. Karena ia hanya menceritakan bentuk (form) bukan pada isi (matter). Form tersebut bukanlah essensi dari matter, sehingga penghinaan atau pelecehan terhadap form tidak bisa dikatakan menghina matter (isi). Dalam logika Amin, form merupakan protective belt, sedangkan matter adalah hard core (ajaran inti, esensi). Ia tidak berniat mendekonstruksi islam, ia hanya berniat mendekonstruksi pemikiran islam.
Mungkin benar bahwa perlu adanya penafsiran yang bersifat historis-interpretatif, dsb yang bersifat dialogis, terbuka, relative, debatable, pluralistis, tetapi pertanyaannya, apakah dampak yang dihasilkan dari wacana seperti ini? Sehingga apabila mau adil bukan hanya melihat segi positifnya saja tetapi harus melihat dari segi negative. Apakah penafsiran yang terbuka, bebas, relative tidak memungkinkan terjadinya semena-menanya seseorang dalam menafsirkan Al Qur'an (text). Apabila text tidak lagi dihayati sebagai yang sacral karena kesakralannya hilang dengan pola pikir kebaratan. Apakah makna dari pola berfikir kebaratan ini ketika melakukan penafsiran terhadap al Qur'an?, apakah ia menerima secara bulat bahwa al Qur'an merupakan suatu hal yang suci, tabu, bimbingan ilahi, dsb. Kalau tidak, apa artinya menjadikan al Qur'an sebagai ajaran inti (hard core)?.
Seandainya dalam tingkatan theologies, Tuhan dan Kebenaran tidak lagi mempunyai sifat transcendental, sacral, tabu, final, tetapi theology merupakan suatu hal yang bersifat arbitrer, hostoristis, maka dalam tingkatan theologies ini betapa telah terjadi suatu skeptisme dan nihilistic terhadap konsep kebenaran. Sedangkan di tingkat sosiologi Amin Abdullah, memberikan alternative untuk terbuka atau inklusif terhadap ummat beragama lain, islam tidak dipahami sebagai suatu identitas social, ia hanyalah sikap spiritual terhadap tuhan, dimana wujud eksoterisnya berbeda-beda (lihat hal. 236).
Sehingga islam tidak dipahami sebagai suatu kelompok atau identitas social tertentu yang mempunyai sifat spesifik, dan terikat pada dogma tertentu (al Qur'an dan Sunnah), tetapi hanya sebagai bentuk sikap spiritual semata, yang berlandaskan pada prinsip al Qur'an yang dipahami tidak melalui lembaga/ otoritas keagamaan, tetapi bersifat pribadi, subyektif, interpretative, relatif, dialogis dll. Sehingga tidak ada suatu otoritas apapun yang "menekankan" pada hanya penafsiran tertentu.
Pemahaman seperti ini tidak bisa dikritik melalui sudut pandang tekstualis, misalnya dengan menyebutkan bagaimana perbuatan Nabi dan Sahabat ketika mendirikan bangunan masyarakat di Madinah, karena pemahaman seperti ini pada dasarnya juga menolak episteme bayani sebagai metode menafsirkan agama secara tunggal. Selain itu ia juga mengkritik pemahaman tekstualis yang tidak mempertimbangkan waktu dan tempat (konteks). Amin Abdullah memberikan alternative keterpaduan penafsiran teks dengan kombinasi atau keterpaduan episteme bayani dengan episteme yang lain, yaitu dengan episteme irfani (mistis) dan burhani (logika), atau dengan istilah Amin Abdullah sendiri dinamakan sebagai takwinul Ilmi (223).
Dalam skema yang dibuat oleh Amin sendiri, menunjukkan bahwa epistem irfani dan burhani terletak pada sisi kontekstual-historis-empiris, sedangkan pada epistem normative, ia meletakkan pada sisi normative-ahistoris. Artinya perlu adanya keseimbangan atau sintesa antara normativitas dan historisitas dengan menggunakan ketiga episteme secara sirkuler (224).
Sedangkan dari segi pendekatan studi keagamaan melalui filsafat kontemporer, ia menegaskan perlunya mengikuti trend filsafat barat yaitu hermeneutik-interpretatif. Agama dipahami sebagai masyarakat yang penuh dengan nilai atau makna. Sehingga masyarakat tidak lagi dipahami secara positivistic, harus tunduk pada hukum system social, tetapi ia hidup berkelompok menghasilkan system makna yang harus didekati dengan interpretasi terhadapnya (358). Maka penulis menafsirkan bahwa Amin Abdullah tidak memakai paradigma pengetahuan social lama (positivistic) dalam mengkaji fenomena keagamaan.
Tetapi dalam pemahaman terhadap hermeneutiknya (Dilthey-ian), bahwa seorang penulis dipengaruhi oleh kondisim keadaan, dan situasi ekonomi, politik serta lingkungan socialnuya. Sehingga seorang penulis mempunyai sifat determinan atau ditentukan oleh keadaan. Maka, pertanyaannya, bukankah hal ini merupakan suatu hal yang dikritik oleh pemikiran kontemporer, dan juga Amin sendiri. Kalaupun seorang itu dianggap sebagai produk lingkungan, maka jenis pemikiran seperti ini yang mempunyai kecenderungan untuk mereduksi kesadaran manusia kepada hukum obyektif social, dimana kebebasan manusia tereduksi kedalam mekanisme atau mesin social.
Maka, penulis akan mencoba melihat inkoherensi dalam pemikiran Amin Abdullah yang lain, dalam hal ini penulis akan berusaha mendekonstruksikannya. Inkoherensi dalam hal ini adalah seharusnya Amin lebih bijaksana dalam melihat realitas pemahaman islam konservatif, dimana ia menekankan pendekatan hermeneutika-interpretatif. Islam konservatif seharusnya dilihat sebagai suatu masyarakat yang penuh makna, serta menghasilkan pandangan dunia yang mesintesakan anatara pengetahuan, pengalaman dan perasaan (359). Seharusnya melihat mereka lebih manusiawi, dengan mempertimbangkan "makna" pada mereka, bukannya merubah sesuai dengan paradigma yang diinginkannya. Apakah pola pikir tekstualis tidak memiliki pandangan dunia sesuai dengan pengetahuannya, pengalamannya dan perasaannya, sehingga dianggap bar-bar, jumud dan kolot sehingga harus diubah?
Usaha untuk merubah pandangan social, dimana masyarakat social hanya dijadikan obyek pengamatan, diubah dan direkayasa (social engineering), bukankah hal itu merupakan paradigma fungsionalis yang juga dikritik oleh Amin (358)?. Kenapa harus merekayasa masyarakat kaum muslimin konservatif agar berparadigma keagamaan sesuai dengan paradigma keagamaan seorang Amin Abdullah? Bukankah itu juga termasuk bagian dari rekayasa social, dimana masyarakat muslim konservatif dianggap mesin social yang rusak sehingga perlu diperbaiki dengan merubah pola berfikirnya (bandingkan dengan hal. 255). Maksudnya gaya berfikir kaum muslimin seharusnya diubah agar mengalami kemajuan, dengan menggalang tajdid (pembaharuan pemikiran), sehingga perlu dirombak kurikulum institusi pendidikan kaum muslimin (bag.2.3 dan 4.4).
Pertanyaan yang menarik adalah, apakah Amin (institusi pendidikan UIN) akan menggantikan peran ulama (institusi agama) konservatif yang menekankan metode bayani dan digantikan dengan institusi akademi yang menekankan metode hermeneutic-interpretatif, sebagai otoritas penafsir teks. Bukankah hal itu juga "penundukan" pola berfikir dan bagaimana kita memahami teks, yang juga dikritik oleh Amin sendiri? (lihat bag 3.3).
Upaya penundukan paradigma, dalam pemikiran Lyotard diungkapkan dengan istilah "penundukan permainan bahasa". Permainan bahasa, apapun jenis permainan bahasanya (paradigma histories, tekstualis, positivis dll) berasal dari suatu kultur dan "dipaksakan" untuk ditundukkan kepada kultur yang lain lewat media, pengarahan opini, atau sosialisasi kepada "permainan bahasa yang lain[3]. Sehingga tidak bisa dinafikan adanya ghozwul fikri dalam istilah pergerakan islam kanan.
Pluralisme, HAM, demokrasi, humanisme merupakan "grand narasi" dari suatu "permainan bahasa" tertentu (yaitu kultur Eropa) untuk dipaksakan kepada kultur timur/islam, melalui program pendidikan, perguruan tinggi, media massa, dll. Sehingga apabila ditinjau dari sudut pandang Lyotardian, apa yang dilakukan Amin Abdullah hanyalah sebagai upaya penundukan pola pikir, melalui olah bahasa yang bersifat eufemisme.
Dari sekian banyak "permainan bahasa" tersebut kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan yang salah kalau ditinjau dari segi filsafat karena filsafat sendiri pun pada dirinya sendiri merupakan usaha pencarian makna, hakekat, kebenaran, sehingga tidak bisa menentukan apakah pola pikir "historistis" sebagai suatu hal yang benar sedangkan pola pikir tekstualis sebagai hal yang salah sehingga perlu dirombak dan diperbaharui.
Paradigma "historistis" juga semestinya juga tidak luput dari pendekatan historisitas sendiri. Bagaimana konsep historisitas itu digunakan? Untuk kepentingan apa? Apa akibat yang dihasilkan? Oleh karena itu konsep historisitas itu sendiri juga tidak bebas nilai, kebenaran transenden, universal dll sehingga dengan menggunakan pendekatan seperti ini kita bisa mengatakan bahwa metode ini (historisitas) juga tidak berhak mengklaim sebagai satu-satu alat yang sah untuk mencapai kebenaran. Sehingga memaksakan memakai metode tersebut untuk mengkaji agama juga bukan berarti ia bebas akan kepentingan. Kepentingan tersebut akan terkuak apabila akibat yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut tercapai.
Maka, penulis akan melakukan usaha yang lazim dilakukan oleh filsuf pragmatisme[4]. Maka, penulis akan mengajukan pertanyaan terlebih dulu, apa akibat yang ditimbulkan oleh pemakaian metode historisitas ini ketika digunakan untuk meneropongi obyek keagamaan? Apa pengaruhnya apabila metode ini digunakan kaum muslimin ketika meneropongi agamanya sendiri? Maka menurut hemat penulis, akan terjadi proses desakralisasi agama (pemikiran keagamaan, bhs. Amin Abdullah), relativisme, nihilisme (hal ini tidak dipercaya oleh Amin Abdullah), sehingga pertanyaan penulis, apabila terjadi kondisi seperti hal tersebut, apa makna (interpretative) bahwa al Qur'an (yang merupakan hard core dalam pemikiran Amin Abdullah) sebagai petunjuk yang tidak dapat diragukan (Al Baqoroh: 2)?
Ketakutan akan tercerabutnya sakralitas, terjadinya relativisme, skeptisme dan nihilsisme bukan merupakan ketakutan kaum muslimin yang tidak mendasar. Kita juga tidak buta ketika melihat mahasiswa Ushuludin yang dengan bangga banyak dengan terang-terangan menyebut diri sebagai skeptisme, kaum nietzchean, "kaum anti Tuhan" dsb. Apakah karakter seperti ini yang diharapkan oleh Amin Abdullah? Apakah menurut Amin, Mahasiswa tersebut telah mencapai "pencerahan"? karena telah menggunakan metode historisitas sebagai "alat" pendekatan terhadap studi keagamaan.
Sehingga tidak heran dengan mengatasnamakan kebebasan, pluralisme, sekularisme, desakralisasi lembaga keagamaan, banyak aktivis maupun pemikir islam, baik secara terang-terangan atau tidak, mendukung praktek prostitusi, kebebasan nilai, dsb. Pertanyaan, mana basis spiritual yang merupakan inti dari semua agama (esoteric)?, apa makna pengalaman keberagamaan ketika ia harus "mengikuti" realitas kebebasan nilai, permisivisme, nihilistic disekitarnya?.
Ada dua sikap yang harus kita ambil ketika kita dihadapkan kepada realitas pada era post modern ini, yang ditandakan dengan tranformasi nilai besar-besaran. Sikap pertama adalah bertahan pada nilai yang dianutnya, bersikap apologis, ekslusif, menolak perubahan nilai dsb. Sedangkan sikap yang kedua adalah, mengikuti arus perkembangan sembari merombak total pandangannya tentang nilai (aksiologis) dan kepercayaan (theologies). Sikap pertama diambil oleh penulis, dan sikap kedua diambil oleh Amin Abdullah, yang mengikuti arus deras perubahan sambil menikmati kursi empuk rektorat.
Kedua sikap tersebut, kalau ditinjau dari segi eksistensialis, maka kedua sikap tersebut mencerminkan pilihan/opsi kehidupan, kebebasan bertindak dsb. Kedua sikap tersebut merupakan suatu realitas yang ada di dunia ini, sekarang ini. Tidak ada yang benar dan salah apabila kita meninjau dari segi filsafat (aksiologi). Yang benar dan yang salah apabila salah satu dari kedua sikap tersebut memenangkan "opini" public lewat jalur propaganda[5].
Argument yang sering dilontarkan oleh pendukung sikap yang kedua adalah "kita jangan sampai ketinggalan zaman", "harus meninggalkan keyakinan yang kolot", "zaman telah berganti" dsb. Dan argument yang digunakan oleh pihak yang pertama pun tak kalah serunya, "kita harus berpegang teguh pada keimanan", "kita tidak dipermainkan oleh situasi tetapi merubah situasi", "melawan arus adalah suatu kehormatan" dsb. Maka, kedua macam jenis permainan bahasa (Istilah yang dipakai oleh Wittgeinstein II) tersebut tidak bisa ditentukan mana yang lebih rasional atau tidak rasional.
Sehingga pernyataan Amin Abdullah, bahwa pemikiran konservatif, eksklusif, tertutup, statis merupakan hal yang jelek, salah sehingga harus diluruskan, dibetulkan sehingga mencapai kemajuan, dan tidak mengalami suatu kemunduran sebagaimana yang dirasakan sekarang ini. Karena kebuntuan menghasilkan pemikiran yang baru, dan memilih mereproduksi pemikiran-pemikiran lama daripada memproduksi pemikiran yang baru dan yang sesuai dengan konteks zaman dan tempat (hal. 27).
Pemikiran tersebut, merupakan pemilahan yang dilakukan secara sepihak. Atas dasar apa perubahan, dinamika berfikir, inklusif, sikap pluralisme merupakan suatu kemajuan, kebenaran, suatu keadaan yang ideal yang hendak dituju, direkayasa agar kaum muslimin berfikir seperti itu. Pemikiran tersebut, bahwasanya yang dinamakan kemajuan adalah suatu proses dinamis berfikir, inkusif dsb, hanyalah klaim spekulatif dan diyakini benar secara universal (non relative), transcendental, walaupun Amin Abdullah tidak menyebutnya demikian, tetapi kalau kita melihat pilihan kata-kata dalam kalimat yang ia susun dalam Islamic studies, seakan-akan demikian.
Kalau klaim seperti itu dibenarkan, maka akan terjadi inkoherensi pemikiran lagi, karena (sebagaimana pemikiran Amin Abdullah) "kebenaran" itu sifatnya berproses, bukan suatu hal yang finally, dialogis, relative[6], dsb. Tidak ada satupun yang berhak menentukan criteria terhadap definisi "kemajuan". Kalau kemajuan diartikan sebagai kebebasan berfikir, dinamika berfikir, maka banyak sekali alternative definisi kemajuan yang dibuat oleh orang lain, misalnya 'kemajuan adalah perubahan kea rah nilai moralitas yang lebih islami", "kemajuan adalah tingkat kenaikan GNP yang mengalami kenaikan". Sehingga, menurut hemat penulis, harus ditentukan dulu, arti atau definisi kemajuan, baru setelah itu membuat kebijakan sesuai dengan definisi kita terhadap kemajuan tersebut.
Sehingga apabila dikatakan barat telah mengalami banyak kemajuan dalam segi pemikiran dikarenakan telah dilahirkan banyak filsuf, pemikir, dan pembaharu, apakah yang menjadi criteria penentuan tersebut (banyak filsuf, dinamika pemikiran, pembaharuan, perubahan paradigma) sebagai suatu yang hendak kita tuju?, bukankah jenis ungkapan tersebut bersifat imperative, spekulatif, transenden[7]? Mengapa pemikiran yang statis, jumud dinamakan sebagai suatu kemunduran?
Penulis berani mengatakan seperti hal ini, karena pertanyaan tersebut walaupun sepele, belum pernah penulis dengar dari kaum pemikir yang membahasnya. Karena "criteria kemajuan pemikiran" merupakan suatu hal yang tidak perlu dipertanyakan, dikritisi, didekonstruksi dsb. Dalam hal ini penulis juga mengkritik sikap Amin yang di satu sisi mengkritisi tradisi intelektual kaum muslimin yang mereproduksi pemikiran lama, apologis, taqlid, takut akan kehilangan sakralitasnya, tetapi di sisi yang lain Amin A. juga selalu mengekor dan bertaklid terhadap pemikiran orang lain serta mereproduksinya kembali dan diterapkan dalam institusi pendidikan islam seperti ia mereproduksi pemikiran Lakatos, Rahman, Arkoun, Hanafi. Lalu apa bedanya dengan pemikiran islam konservatif yang dikritiknya, bukankah keduanya sama-sama "taqlid".
Apa yang terbaru dari pemikiran islam liberal di Indonesia selain ungkapan "konteks, konteks, konteks, konteks …… " melulu yang tidak ada habis-habisnya. Bukanah suatu sikap yang lebih baik untuk diambil apabila kita berpegang teguh kepada suatu keyakinan sembari mengembangkan suatu tindakan konkrit seperti peningkatan SDM, pendidikan, social sebagaimana yang dilakukan oleh aktivis gerakan tarbiyah daripada mendekonstruksi keyakinan yang tidak mempunyai manfaat yang dirasakan secara konkrit?
Mungkin suatu hal yang penting apabila penulis menanggapi sindiran Amin Abdullah yang menyatakan bahwa 'right or wrong is my country' (hal 220)[8]. Dalam wilayah aqidah (kepercayaan) islam al Qur'an merupakan suatu petunjuk, yang datang dari Allah, sebagai pedoman kepada orang yang bertaqwa, sehingga al Qur'an ini sebagai pedoman hidup kita. Dan sebagai penafsirannya pun kita menggunakan episteme bayani sebagaimana penulis menafsirkan buku Islamis studies karangan Amin Abdullah. Dengan cara ini penulis mampu membaca serta mengerti apa yang dimaksud pengarang buku tersebut mengenai ide-idenya dsb. Begitu juga dengan cara baca penulis terhadap karya yang lain. Kalau penulis tidak memakai metode tekstualis sebagaimana penulis membaca karya Amin Abdullah, memakai cara apalagi kalau tidak memakai cara tekstualis atau bayani agar penulis paham maksud penulis buku?
Sehingga ketika beliau menulis pernyataan "hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa "agama" dan "ilmu" adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan" (hal.92), apakah semua pembaca akan menafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Bagaimana kita memahami ungkapan seperti itu kalau tidak memakai bahasa tekstual? Sehingga dapat dikatakan bahwa penafsiran terhadap suatu teks mempunyai sedikit variatif, dan dengan sedikit variatif tersebut handaklah tidak dijadikan "senjata pamungkas" untuk mendekonstruksi bangunan ajaran islam, walaupun dengan niat meruntuhkan "bangunan pemikiran islam konservatif".
Dalam al Qur'an maupun sunnah, ketika dibaca oleh kaum muslimin memang didapati berbagai variatif, tetapi hal itu hanya terjadi dalam wilayah yang musytabihaat atau furu'iyyah bukan yang bersifat ushuliyy atau qoth'i. Tidak mungkin jika dua orang muslim yang membaca teks al Qur'an, yang satu menyatakan bahwa Tuhan itu ada satu, sedangkan seorang muslim yang lain menyatakan Tuhan itu ada empat. Kalau seandainya saya salah membaca buku karya Amin Abdullah, disitu setelah saya membaca karya Amin Abdullah saya menyatakan bahwa dalam karya Amin Abdullah dalam buku Islamic Studies, ia (Amin) sangat mendukung keimuan islam konservatif dan menganggap perlu dipertahankan lagi. Apakah pendapat saya keliru? Dalam pemikiran Amin Abdullah seorang author itu tidak berhak memaksakan hasil penafsiran reader, karena penafsiran reader berdasarkan pengalamannya, corak berfikirnya, dll, sehingga penulis menganggap kebebasan penuh untuk menafsirkan semua teks sesuai dengan keinginan penulis. Tetapi untuk apa buku ditulis kalau tidak dilihat sebagai jalinan teks yang bisa dibaca oleh reader, dan kemudian untuk dipahami maknanya?
Memang ada penulisan (teks) dengan menggunakan kalimat puitis, tetapi kalimat puitis atau metaphor mudah dibedakan dengan makna sesungguhnya dari teks tersebut. Sehingga kita bisa dengan mudah membedakan mana yang harus dipahami melalui intuisi dan mana yang harus dipahami melalui akal. Dalam sastra Indonesia kita dengan mudah membedakan mana yang deduktif (kalimat tidak sesungguhnya) dan kalimat induktif (kalimat sesungguhnya).
Begitu juga ketika al Qur'an menyatakan tentang truth claim, bahwa kebenaran di sisi Allah adalah Islam, bukan melalui ajaran yang lain. Teks ini jelas, sehingga tidak memungkinkan penafsiran yang lain, selain didukung oleh Sunnah Nabi. Dan begitu juga pemahaman islam yang dipahami kaum muslimin bersifat eksklusif karena dalam al Qur'an dikatakan demikian. Apabila terjadi perbedaan dalam hal bersikap terhadap teks agama, maka apakah layak teks keagamaan ditafsirkan melalui ideology atau konsep kontemporer, atau sebaliknya konsep kontemporer ditafsirkan dari sudut pandang agama?
Area penundukan terjadi apabila yang menjadi paradigmanya merupakan obyek formalnya, sedangkan paradigma yang akan ditundukkan adalah paradigma yang menjadi obyek materialnya. Apabila agama (sebagai obyek material) ditinjau dari sudut pandang filsafat kontemporer (obyek formal), maka yang selalu menang adalah filsafat kontemporernya. Apabila agama ditinjau dari sudut pandang keilmuan positivistic, maka corak positivistiklah yang berlaku, bukan agama. Sedangkan apabila yang menjadi obyek formalnya adalah ajaran agama, maka corak keagamaannya lah yang menjadi corak pola berfikir.
Sehingga ada suatu usaha "penundukan" yang jelas apabila dua paradigma kebenaran tersebut berlaku sebagai obyek formal. Sehingga disini kita tahu kepentingan apa yang mendasari penulisan buku Amin Abdullah. Ketika ia menyoroti sudut etika melalui agama sebagai pusat aksiologisnya, maka ia ingin menjadikan agama sebagai sumber aksiologis, tetapi kalau mengamati agama dari segi ilmu pengetahuan positivistic, maka ada usaha untuk menundukkan "logika" agama kepada "logika" positivistic.
Menurut pemikiran Kierkegaard, keyakinan adalah suatu lompatan eksistensial. Ia tidak bisa direduksi atau diamati melalui kerja pengamatan (induktif) atau darinya dipikirkan melalui konsep rasional-spekulatif. Manusia tidak tunduk pada lingkungannya, ia bebas, ia bergerak dan merasa dalam dunia ini, dan dalam keadaan, cemas, gelisah dan takut ia akan menemukan eksistensinya memeluk keyakinan dan meninggalkan rasio[9].
Manusia bertindak dan percaya kepada sesuatu sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan bukanlah suatu konsep yang dibuat rasio dan dengan itu ia menyembahnya dan mengatakannya sebagai suatu kebenaran. Keyakinan adalah suatu eksistensi yang lepas dari pemikiran rasio. Sehingga pemikiran eksistensialisme Kierkegaard tidak mengakui adanya suatu konsep kebenaran yang dibuat oleh rasio.
Disini, bukan maksud penulis untuk menunjukkan suatu sikap yang anti rasionalitas. Tetapi penulis ingin menekankan bahwa rasionalitas, hanyalah digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari, dan menghayati keindahan alam semesta ini yang bersifat estetis, sehingga dari situ akan menimbulkan "lompatan iman"[10]. Rasio bukan digunakan untuk mengukur hakekat apa itu kebenaran, apa itu tuhan, apa itu substansi, apa itu hakekat segala sesuatu, atau rasio tidak bisa digunakan dengan hitung-menghitung kebenaran dengan mengawinkannya dengan pemikiran filsafat kontemporer, dan dari situ kita mengikuti kebenaran yang relative yang telah kita buat sendiri.
Tugas Filsafat menurut hemat penulis hanyalah untuk mengikuti kemauan keingintahuan manusia, tetapi ia tidak bisa mencapainya secara finally. Ia bersifat estetis, suatu pekerjaan yang tidak produktif atau tidak mempunyai manfaat secara konkrit, tetapi menghasilkan kepuasan estetis bagi para pelakunya (filsuf). Filsafat adalah suatu pencarian terus-menerus, sehingga ia tidak bisa dijadikan alat ukur untuk menentukan kebenaran apapun.
Filsafat adalah semacam hoby, permainan untuk mengisi waktu senggang. Sebagaimana kita melihat siaran sepak bola, bermain catur, dsb. Tetapi kita mempunyai eksistensi konkrit, kita hidup di tengah realitas natural dan social, kita harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, emosional serta kebutuhan social, sehingga kita tidak lagi mempunyai waktu melamun yang panjang lagi untuk memikirkan dan mencapai "kebenaran" yang final.
Dan hasil perenungan filsafat tidak bisa dijadikan "pedoman" hidup kita. Karena ia hanyalah permainan belaka. Sehingga ketika agama ditinjau dari filsafat, agama hanyalah usaha perenungan yang terus menerus untuk pencarian konsep tentang kebenaran itu sendiri. Sehingga penulis akan memilih sikap meyakini secara eksistensi untuk mempercayai sebuah keyakinan yang statis, transenden, universal ditengah lautan transformasi kebudayaan, nilai, dan theology ini. Karena arus perubahan tidak untuk diikuti arusnya, tetapi untuk dilawan sesuai dengan identitas kita sebagai kaum muslimin.






Wallahu A'lam Bi al Showwab























DAFTAR PUSTAKA






ü Abdullah, DR. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995

ü Abdullah, DR. Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

ü Bertens, DR. K, Filsafat Barat Abad Kontemporer: Prancis, Gramedia, Jakarta, 2001

ü Fakih, Dr. Mansour, Sesat piker Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist, Yogyakarta, 2001

ü Hardiman,F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche, Gramedia, Jakarta, 2004

ü Husaini, Adian, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press, Jakarta, 2002

ü Tafsir, Prof. DR. Ahmad, Filsafat Umum: Akal, Hati Sejak Thales Sampai Chapra, Remaja Rosdakarya, 1999

ü Titus,Harold A. dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Alih Bahasa: HM. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984










[1] Bandingkan dengan pernyataan Amin Abdullah dalam Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 hal. 106

[2] Daniel L Pals, dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama,terj: I. Ridhwan Muzir, Irshisod, Yogyakarta, 1996 hal. 98
[3] DR. K. Bertens Filsafat Barat Abad Kontemporer: Prancis, Gramedia, Jakarta, 2001 hal. 353

[4] Tafsir, Prof. DR. Ahmad, Filsafat Umum: Akal, Hati Sejak Thales Sampai Chapra, Remaja Rosdakarya, 1999 hal. 190

[5] bandingkan denganAdian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press, Jakarta, 2002 pengantar hal. xxxix

[6] Abdullah, DR. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 hal. 25

[7] ungkapan tersebut merupakan bentuk ungkapan yang bersifat tetap, berasal dari luar yang dianggap sebagai kebenaran abadi (transendental), ia merupakan perintah langsung (imperatif).
[8] Lihat juga penggunaan istilah tersebut dalam Falsafah Kalam
[9] Harold A Titus. dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Alih Bahasa: HM. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984 hal. 388

[10] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche, Gramedia, Jakarta, 2004 hal. 253

Tuesday, February 27, 2007

Teori Laba-Laba (Prof,Amin Abdullah) Prespektif Kekinian


Integralitas dan Interkoneksitas Keilmuan
Dalam Perspektif Sosiologis
(Menyongsong Perubahan Dunia Keilmuan di UIN Yogyakarta)
Oleh: Dendi Sutarto*
ABSTRACT
This article is early from network various discursus that happened along integrate and interconection scientist between Islamic science and secular sciense. All new paradigm is which on the offered M. Amin Abdullah as rareness for the connection of and terminate the dichotomy science in Islamic college. When this paradigm in applied in State Islamic University the reality still generate various pro and contra. Care to change which is concerning existing and system institution always become the question. At region social social reality of course will bring the implication to appearance culture, ideology, system and come up with the new structure. There is possibility with the existence of interconecsity and integrity open the wide space for dummy creation, autosuggestion, identify the, sympathy and acculturation having the character of culture. When which at the same time when normative-teologis have got the touch of hermeneutica and interpretation of socologis context hence which emerge is human being product, but as adjustment with the change and demand which move very complex, hence mean the universality apocalipse remain to be especial bridge. On the other side at life zone there is big possibility of science power will shift the value and religion norm as social control. Escape by building which wish develop builded by paradigm of interconecsity and integrate, what region epistemology, acsiology and ontology?

Key words: Interkoneksitas dan integralitas, Sains Modern Sekuler, Perubahan Sosial

A. Pendahuluan
Sejak kelahiran Islam, telah kita saksikan realitas sosial yang sarat dengan krisis moralitas dan berbagai ketimpangan struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik yang mengekploitatif, sehingga jurang pemisa antara yang bermodal dan yang tertindas semakin meruncing kepermukaan. Materi, kekuasaan dan elite menjadi sentral kekuasaan (power central) paling menetukan tingkat kebenaran dan keadilan sosial. Tidak jarang pertumpahan darah, peperangan dan permusuhan antar ras, golongan dan bahkan daerah yang dipertajam dengan adanya fanatisme kesukuan yang sempit dalam pencapaian kepentingan tertentu. Kelahiran Islam sebagai rahmatan lil alamin dan sekaligus mengakhiri masa “jahiliyah” dengan kedatangan Muhammad sebagai rasul dan sekaligus penyampai wahyu untuk seluruh alam. Dari ajaran yang agung dan sekaligus fundamental yang menjadi basis sosio-kultural, politik, ekonomi dan segenap tatanan sistem kehidupan manusia. Wahyu yang diturunkan kepada rasul Muhammad beberapa abad yang lalu, sarat dengan muatan nilai aqidah, yang secara sistematis meminjam istilah Hasan al-Banah meliputi wilayah-wilayah[1]; Ilahiyat, yang membicarakan segala yang berkaitan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Nubuwat, pembahasan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, dan termasuk tentang kitab-kitab Allah. Ruhaniyat, kajian yang berhubungan dengan dengan persoalan alam metfisika. Sam’iyyat, sesuatu yang hanya dapat diketahui lewat Sam’I dengan dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah, yang terakumulasi kedalam rangkaian dan fase-fase Iman, Islam dan Ihsan.
Dalam perkembangannya selanjutnya wahyu yang kita kenal secara transendensi, akan memunculkan berbagai manifestasi dalam kehidupan manusia secara sosial dalam masyrakat. Berangkat dari satu ajaran teologis yang mendapat sentuhan interpretasi secara sosiologis kedalam satu kondisi masyarakat plural dan heterogen atau dengan hermeneutika yang merupakan derivasi-derivasi dari kata herme, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang berarti sebagai penghubung antara sang Maha Dewa di langit dengan manusia yang berada di bumi.[2] Hermes bukan saja sebagai orang bisu post man (tukang post), tetapi hermes sekaligus sebagai penafsir pesan wahyu agar dapat dipahami oleh manusia. Sehingga melalui hermes, mampu menginterpretasikan kedalam bahasa pengguna dan sekaligus pendengar, sehingga pesan transendensi mampu ditangkap dan di internalisasikan melalui proses hermeneutika dengan berbagai latar belakang sosial yang berlainan, terutama faktor geografis, kultur, teknologi, pola sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi terbentuknya berbagai zona kajian dan pelembagaan institusi sosial keagamaan. Dari kesadaran perkembangan yang semakin kompleks, teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial, humaniora kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdekatkan jarak perbedaan budaya antar suatu wilayah satu dengan wilayah lain. Kondisi demikian, pada gilirannya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang apa yang disebuat “agama”. Namun agama di era sekarang tidak dapat lagi didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata.[3] Di tengah pergulatan berbagai kemajuan sains yang membawa manusia kepada keterbukaan, sehingga fenomena agama tidak mendapat perhatian yang lebih serius, di sisilain “agama” dikaji dalam lapangan sains dengan berbagai pendekatan keilmuan, sehingga nuasa pluralitas beragama semakin memberikan warna baru yang berhadapan dengan teologis-nornatif. Karena memang ada kecenderungan para pemeluk “agama” dalam memahami substantif lebih “bebas”, fundamental, secara utuh dan konprehensif. Seperti halnya pendekatan fenomenologi yang dibangun oleh Edmund Husserl,[4] melalui kesadaran manusia berusaha menemukan “esensi” keberagamaan dalam kehidupan. Dari sini terkesan bahwa melalui satu bangunan interpretasi makna dari teologis-normatif ke historis yang lebih empiris dan lentur. Pada proses tranformasi nilai, makna yang berjalan seringkali memunculkan perdebatan antara dua kutub normatif-teologi dan historis-empirik dalam kehidupan beragama.
Dalam kajian sosiologi pengetahuan, pada level-level tertentu pengetahuan mampu memperlihatkan struktur kesadaran individual dan bisa membedakan antara pengetahuan dan kesadaran. Semakin menyadari hakekat manusia yang semakin kompleks dan paradoks yang tercermin pada dunia intersubyektivitas. Dari pertautan dan fase-fase zaman yang terus berubahan yang menujukkan bahwa sifat dasar kehidupan manusia dalam masyarakat yang dialektis, sehingga muncul kesadaran dan rumusan-rumusan sebagai penyelaras dengan kondisi perubahan sosial dan tututan-tuntutan zaman. Lebih lanjut dalam pandangan Peter L Berger, kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda dari pada hanya satu kenyaan tunggal secara sosiologi.[5] Pada wilayah praksis sehari-hari memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subyektif, dalam waktu yang hampir bersamaan manusia juga adalah pencipta kenyataan sosial yang dibangun melalui proses eksternalisasi dalam bentuk penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultur sebagai produk manusia, yang kemudian memasuki fase obyektivasi, melalui interaksi sosial pada dunia intersubyektif yang pada prosesnya mengalami tahap institusionalisasi sosial. Internalisasi yang merupakan identifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial, yang pada gilirannya menjadi suatu kenyataan individu dalam kehidupan pusaran waktu. Dalam beberapa momen waktu yang berjalan sangat dialektis, menyongsong perubahan, perdebatan, dikotomis dan berbagai diskursus terutama pada zona ilmu agama dan sains. Memang tidak dipungkiri, terlepas adanya perdebatan yang sengit antara kedua kutub keilmuan tersebut, seiring kemajuan sains di Barat yang telah melintas batas menerobos ruang dan waktu, sehingga melepaskan sekat-sekat kultur, idelogi, politik sampai pada wilayah yang sangat privasi. Melalui pergumulan dengan etika dan nilai baru justru secara tidak sadar dalam waktu yang bersamaan telah membangun satu konstruksi nilai baru kedalam satu wilayah, kultur, ideologi dan ekonomi. Walaupun sebetulnya problema perdebatan sosial dan budaya telah menjadi isu klasik dalam sains kemanusiaan dan kemasyarakatan di abad modern.[6] Dengan berbagai kemajuan, tentu ada keinginan untuk mencari titik terang dan arah yang lebih jelas sebagai keselarasan terhadap kemajuan sains yang telah menduania melalui globalisasi yang telah membentuk Global Village. Di pihak lain ada kegamangan yang luar biasa atas keterbukaan sains Barat terhadap kehidupan agama khusunya di Timur, karena sains Barat yang identik dengan sekulerisasi yang akan membuka lebar ruang kepentingan, hegomoni,[7] ekspansi, kolonialisme Barat (Orientalisme).[8] Sehingga dalam wilayah yang lebih luas dan dialektis, kemunculan Oksidentalisme[9] sebagai salah satu bagian dari reaksi atas wacana kontemporer, atau dialektika peradaban.[10] Keraguan-keraguan ini juga sebenarnya bukan tanpa alasan, namun berangkat dari realitas sosial yang kompleks di dunia masyarakat agama yang tidak jarang eksistensi sains yang dibungkus rapi dengan berbagai “kemasan” telah membawa kepada era modern yang disebut sebagai era sekulerisasi, yaitu era di mana Tuhan dan agama dipisahkan secara radikal dari kehidupan, sehingga eksistensi agama telah terpinggirkan dari realitas kehidupan, nilai, norma dan etika tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan. Sehingga dalam kehidupan modern (sekuler), keberadaan Tuhan menjadi sangat dilematis, di satu sisi, Dia dipersepsikan sebagai yang wujud dan sakral, di sisi lain, kehadiran-Nya tidak memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan sehari-hari manusia, dalam artian yang sangat sederhana manusia tidak mengikatkan diri kepada norma dan aturan Tuhan. Sehingga fungsi Tuhan telah diganti oleh sains dan positivisme yang sangat rasional dan sarat dengan materi. Dengan kondisi seperti inilah Friedrich Nietzsche[11], mengatakan “kematian Tuhan” karena agama mulai terpinggirkan dan bahkan ditinggalkan oleh pemeluknya.
Dari diskursus secara historis problematika modern sains yang menjadi pokok pikiran penting yang menandai kemunculan serta kritik dan krisis yang ditimbulkan oleh penerapan. Banyak kalangan menilai bahwa abad II H/17M merupakan satu fase yang menandai beragam masalah dalam problem sains dan agama dewasa ini.[12] Lebih lanjut Nasr mengatakan sebelum lahirnya filsafat alam yang bersifat materialistik di dunia Barat pun yakni Kristen abad pengetahuan masih memegang satu kosmologi, sebutan lama untuk filsafat alam, yang merupakan unsur metafisika dan ontologi dalam menjelaskan semesta yang mewarisi khzanah tradisi keilmuan Yunani dan Islam. Perubahan radikal terjadi pada abad 17 yang dikenal dengan abad pencerahan yang mencabut akar suci pengetahuan dan melepaskan diri dari sumber intuisi inteleknya. Pada siklus selanjutnya pengaruh sains modern sangat kuat sehingga siapapun tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh tersebut. Namun, tidak dipungkiri bahwa pada perkembangan selanjutnya muncullah suatu kecurigaan yang mengundang upaya kritis terhadap sains modern. Hal ini sebenarnya akibat negatif yang ditimbulkan sains yang justru tidak sejalan dengan cita ideal dan optimisme para pengagum sains tersebut. Kehancuran ekologis, proses dehumanisasi dan berujungnya kehancuran manusia melalui perang merupakan bukti konkrit yang ditunjukkan oleh perkembangan sains. Sehingga orang boleh saja mengatakan bahwa janji kemajuan sains modern tidak lebih sebagai mitos kemajuan. Karena memang di mana pun dan kapan pun manusia hidup, mereka akan senantiasa berhadapan dengan tiga masalah yang tak terelakkan; bagaimana memperoleh makanan dan tempat tinggal dari lingkungan sekitarnya (masalah alamiah), bagaimana hidup bersama dengan orang lain (masalah sosial), dan bagaimana berhubungan dengan kerangka keseluruhan hidup (masalah religius).[13] Dengan kemajuan sains yang menggiring kepada globalisasi yang sekaligus juga menggiring kepada keterbukaan, sehingga pada level-level tertentu manusia merasa sangat diuntungkan oleh kemajuan sains, di mana kebutuhan alamiah secara pragmatis, instant dan konsumtif lebih mudah untuk dicapai sehingga menjadi terbudaya, pada kehidupan sosial masyarakat hubungan tanpa batas terirotial (Border Less), sehingga masyarakat terintegrasi kedalam satu komunitas global, di mana masyarakat terkonstruk kedalam satu kultur, satu ideologi, dan way of life. Pada gilirannya kondisi pluralitas dan kekompleksitasan sosial ternisbikan sehingga problematika yang menyeret ke konflik sosial semakin meruncing yang diakibatkan adanya kesenjangan ekonomi (kemiskinan), kelas sosial yang terklasifikasi melalui deferensisai yang radikal, sehingga pada aras yang sangat vital agama tidak lagi menjadi kontrol atas perilaku sosial. Agama telah kehilangan ruang batas vitalitas yang universal akan kehidupan manusia, Ataukah agama menemukan “ajalnya” di tengah kedigdayaan sains?
Dari diskursus panjang antara sains dan agama, banyak kalangan masyarakat mengklasifikasikan kedalam dua faksi secara radikal yang satu sama lain tidak dapat dipertemukan, namun di sisi lain muncul pertanyaan yang bernada optimis, akankah sains dan agama menemukan titik temu yang cukup ideal? Walaupun dalam perjalan panjang historis hubungan sains dan agama di Barat perna menjadi isu global ketika pemimpin gereja menolak Teori Heliosentris Galileo dan Teori Evolusi Darwin. Pemimpin gereja membuat pernyataan yang berbeda di luar kompetensinya. Sebaliknya Isaac Newton dan tokoh ilmu-ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan, sehingga sampai tiba waktu atau datangnya teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut.[14] Walaupun diskurus ini telah lama menjadi isu sentral sains dan agama, namun pada kesempatan ini kita menengok kembali isu yang hampir bersamaan, namun dalam konteks, ruang dan waktu yang berbeda yaitu bagaimana integrasi dan interkoneksi keilmuan dalam dalam ranah keislaman lebih khusus lagi pada masyarakat kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Akhir-akhir ini telah menjadi tema diskusi dan bahkan seminar baik mahasiswa ataupun dosen khusunya dalam menyongsong konversi Institut ke Universitas, seiring perubahan dan kekompleksitasan zaman, ada tuntutan yang mengharuskan UIN merasa terpanggil untuk merancang satu paradigma baru yang mampu menyandingkan sains dan agama kedalam satu wujud baru melalui integritas dan interkoneksitas keilmuan.

B. Interkoneksitas dan Integralitas, Sebuah Prediksi Perubahan
Dalam kurun beberapa waktu yang lalu, dunia perguruan tinggi Islam khususnya sempat mengalami ketegangan antara sisi “normatif” dan “historis” keberagamaan. Pada perkembangan selanjutnya ada keinginan yang kuat untuk meredahkan ketegangan antara faksi teologis-normatif dan sisi sains yang dikotomis, khususnya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Melihat ketegangan yang terjadi, M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” dan “integrasi” sebagai upaya mengurangi ketegangan yang seringkali tidak prodiktif dalam studi keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi.[15] Dalam menyongsong tranformasi kelembagaan dan sistem yang sangat dinamis terutama paradigma keilmuan keislaman menuju format UIN yang dicita-citakan. Ada dua catatan penting yang menjadi perhatian dan sekaligus menjadi bahan diskusi yang sangat menarik ; pertama, ”Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama : Dari Positivistik-Sekularistik ke Teoantroposentrik-Integralistik “, dan kedua; “Dari Pendekatan Dikotomistik-atomistik ke integratif-interkonektif”. Dari pendekatan “integrasi” keilmuan yang seolah-olah berharap tidak ada lagi ketegangan, dengan cara meleburkan dan melumutkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-propanitas” atau justru sebaliknya dengan membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagamaan Islam ke wilayah normativitas-sakralitas tanpa reserve, inilah sebenarnya yang menjadi alasan M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humiliy (rendah hati) dan human (manusiawi).
Berangkat dari paradigama “interkoneksitas” yang berasumsi untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. dalam menyatukan, saling menyapa antara satu bangunan ilmu satu dengan lainnya, terutama sains dan agama. Interkoneksitas atas dikotomi setidaknya dapat didekati dengan tiga perspektif; epistemologi, aksiologi dan ontologis, yang masing-masing memberikan respon tehadap dikotomi pendidikan, menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, terbuka dan dialogis serta mencairkan hubungan berbagai disiplin keilmuan menjadi terbuka, namun meskipun masih ada persinggungan antara wilayah (Hadlarah al-Nash), dan juga pendukung budaya (Hadlarah al-Ilm) serta pendukung (Hadlarah al-Falsafah)[16]. Hanya saja, cara berpikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu perlu berubah. Problem selanjutnya yang menjadi core dalam menyongsong tranformasi keilmuan di perguruan tinggi Islam dalam menemukan titik temu antara sains dan agama melalui paradigma intekoneksitas, namun pertanyaan seringkali muncul apakah pada dataran epistemologi, aksiologi dan bahkan mungkin juga ontologi semata yang ingin dibangun menjadi central paradigma sains dan agama. Dalam arti yang lebih luas apakah sains dan agama dipertemukan pada level epistemologi, namun di sini juga beberapa kalangan cenderung mengkritik sains Barat karena metodologi yang berkembangn sangat menyisihkan dan mengalienasi wilayah transendentalitas, sehingga sisi ketuhanan ternisbihkan dan tidak menutup kemungkinan memunculkan apa yang perna dikatakan oleh Friedrich Nietzsche, hilangnya makna ketuhanan dalam kehidupan sosial, atau barang kali seprti anomi, perseteruan nilai moral dalam kehidupan sosial yang dikatakan oleh Emile Durkheim.[17] Namun sebagian Muslim mengemukakan bahwa sains yang berkembang pada masyarakat Muslim dahulu berbeda dengan sains di Barat, pada masyarakat Muslim aspek ketuhanan menjadi titik pijakan sains. Walaupun itu sebenernya sangat sulit melihat batasan-batasan wilayah sains dan agama dalam dua kutub “Barat dan Timur”. Sebagai contoh, pada masa Dinasti Umayyah mendirikan observatorium astronomi di Damaskus awal tahun 700. selama paruh kedua abad ke-2 H/8 M, Khalifah kedua Dinasti ‘Abbasiyyah, Al-Manshur, yelah mengumpulkan sejumlah ilmuan di Bagdad, termasuk dokter-dokter dari Persia dan para antronot dari India. Karya-karya abad ke-2 H/8 M dari ahli kimia termasyhur, Jabir ibn Haayyan (w.800 M).[18] Membuktikan bahwa keakraban umat muslim dengan berbagai sains yang terintegrasi kedalam kultur dengan nilai Islam. Pada bagian lain mungkin juga level ontologis, di mana teori sains berbicara mengenai realitas dan dirujuk dengan pandangan keagamaan, sehingga ada kemungkinan di sisi lain epistemologi dan metodologinya tak tersentuh, dianggap relatif dan bebas nilai, baru dilakukan integrasi pada level ontologi. Sedangkan aksiologi mungkin pada cabang-cabang ilmu tertentu. Namun integritas dan interkoneksitas seringkali terkesan bahwa sains mengalami ekslusif karena diklaim telah diislamkan, dan ini bisa memunculkan persoalan karena umat Islam masing-masing mempunyai pandangan sendiri-sendiri dalam menterjemahkan sains dan agama.
Di luar perdebatan pro-kontra sains dan agama, apakah memunculkan sistesis baru “Islamisasi sains”, “Eksklusif sains” dan bahkan teologis-nornatif dan sains berjalan sendiri-sendiri. Namun lebih jauh dengan adanya perubahan paradigma di perguruan tinggi Islam, tentu bukan tanpa implikasi sosial masyarakat. Ketika interkoneksitas dan bahkan integralitas menjadi salah satu bangunan metodologi di dalam penerapan keilmuan antara ilmu Islam dan sains sekuler di padukan kedalam satu “komunitas”. Terlepas adanya tuntutan perubahan zaman dan kedigdayaan sains secara global, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tuntutan akan kebutuhan pasar, sehingga institusi sosial agama (Perguruan Tinggi Islam) di setting oleh pasar global, yang menempatkan aspek idealis dan pragmatis akan berubah seiring perubahan tuntutan karena ada pandangan, jika tuntutan itu tidak terpenuhi maka eksistensi institusi di pasar sains global akan kehilangan posisi survive. Tidak diragukan lagi ketika tejadi saling sapa, interaksi, maka dialogispun akan terjadi, pertemuan dua kutub sains sekuler dan agama akan memberikan warna baru khususnya di perguruan tinggi Islam dalam hal ini UIN Sunan Kalijaga. Karena yang ingin di bangun adalah zona paradigma yang menjadi salah satu unsur fundamental yang sangat vital, maka ini akan memunculkan satu pola baru konstruksi yang sangat mempengaruhi alur sistem dan struktur telah ada, sehingga pada level praksis akan melahirkan budaya baru, pandangan hidup dan cara berpikir baru sesuai dengan kebutuhan trend dan perubahan yang berlaku. Pada kondisi tertentu ketika berlangsung proses interaksi yang didasarkan pada berbagai faktor, baik secara imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan akulturasi.[19] Hal-hal tersebut merupakan faktor minimal dalam interaksi sosial, walaupun pada kenyataan lebih lanjut proses yang berlangsung justru sangat kompleks. Ketika interksi yang berjalan pada wilayah interkoneksitas dan bahakan integritas lebih didominasi watak dan kultur sains sekuler, maka tidak dipungkiri perguruan tinggi Islam menjadi korban sains di abad modern. Karena sekulerisasi kebudayaan terutama akan menyusutkan hal yang sakral dan peningkatan rasionalitas fikiran manusia, keduanya merupakan perubahan bentuk pemikiran dan tranformasi masyarakat.[20] Perubahan pada zona pemikiran yang kompleks melahirkan berbagai manifestasi terutama pada kegiatan utama manusia, lebih jauh melahirkana perubahan dalan sistem ide, gagasan, kultur yang terpola dan terlembagakan kedalam struktur. Sehingga transformasi yang berjalan sangat dialogis dan interaktif sarat dengan perubahan “nilai”. Dengan adanya paradigma baru dalam menyongsong tranformasi UIN dalam melepaskan dikotomi antara ilmu Islam dan sains sekuler, tentu sebagian kalangan sangat apresiasif dengan adanya perubahan, namun sisi lain banyak pihak yang mencemaskan perubahan paradigma di UIN khususnya, karena ada kemungkinan dari arus tranformasi yang bergulir yang mengalami perubahan justru pada wilayah kultur, wajah, ideologi dan sistem yang lebih ke arah sekulerisme, sehingga Islam hanya menjadi logo yang hanya bermakna simbolik semata, sedangkan pada praksis sosial masyarakat lebih didominanasi nuansa sains sekuler dibandingkan nuansa sufisme dan tradisi-tadisi keislaman yang lebih menampilkan sisi substantif nilai moral keislaman. Sehingga muncul kesenjangan antara kesalehan sosial dan “kesalehan sains sekuler modern”.
Di tengah kegalauan dan problematika sains modern yang semakin kompleks dengan nilai dan budaya baru yang semakin akrab dengan berbagai krisis moral sampai krisis kolektif yang berujung pada ketergantung sains global. Dalam makna yang lebih luas, ketika keterbukaan dalam hal ini interkoneksitas dan integralitas Islam dan sains modern sekuler tanpa didukung oleh kemampuan Islam yang mafan sebagai filter untuk menemukan titik keseimbangan maka, dalam waktu yang bersamaan justru sainslah akan mengiring manusia beragama ke kondisi menemukan ajalnya di tengah kedigdayaan sains sekuler. Kekhawatiran ini tentu tidak terlalu berlebihan dan juga di dukung oleh alasan yang menjadi satu ralitas di mana manusia beragama merasa risih dan cemasan, namun di sisi lain tidak semata-mata “mengharamkan sains”, hanya saja ruang yang dibuka oleh wilayah agama terlalu luas sehingga sangat sulit untuk dibendung dampak negatif sains sekuler. Secara normatif-teologis wahyu akan selalu menjadi satu kerangka berpikir yang mempunyai makna universal sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pada giliran lain wahyu sangat penting untuk di pahami dan diinterpretasikan sesuai dengan konteks sosial masyarakat yang ada, tentu yang mempunyai prasyarat tidak mengaburkan nilai dan substansi yang menjadi pesan suci transendensi universal. Sehingga dalam menyongsong perubahan dalam melepas dikotomi islam dan sekuler khususnya di UIN perlu berhati-hati, baik pada bangunan paradigmanya, apliktif, kontol dan sampai pada wilayah-wilayah mana yang menjadi prioritas perubahan, sehingga dalam perjalanan interkoneksitas dan integralitas keilmuan mempunyai arah yang jelas dan tidak semata bermain pada wilayah metodologi dan konseptual. Dalam berbagai pergulatan kehidupan yang amat kompleks, seringkali peran metodologi dan wilayah teoritis bukanlah suatu hal yang mengikat dalam setiap aktivitas terutama dunia kampus mahasiswa. Sehingga sangat besar peluang untuk memunculkan perilaku-perilaku yang menggeserkan nilai dan kultur agama yang ada. Agama disamping sebagai perekat kehidupan secara kolektif dan mempertahankan kohesi sosial[21], namun pada sisi lain akan memunculkan potensi-potensi konflik kepentingan antar kelompok-kelompok yang cenderung antagonistic yang sarat kepentingan. Dalam pandangan fungsionalis lain cenderung mengatakan agama sebagai institusi kontrol sosial paling utama dalam hubungan sosial yang berlangsung. Seiring bergantinya satu tatanan dan sistem baru pada institusi maka masing-masing unsur satu dengan yang lain mengalami kegoncangan atas kemapanan yang telah tertata. Pada kondisi perubahan, tranformasi yang berjalan secara dialogis dan di sisilain tidak menutup kemungkinan dialektis, namun yang menjadi kata kunci dalam memahami pendamaian itu adalah nilai (value) yang mengikat kebutuhan atau tindakan para individu dengan tatanan yang berjalan.[22] Dalam pemahaman yang berbeda kemungkinan membuka ruang lebar-lebar sebagai antitesa dari tatanan yang telah ada juga sangat berpeluang. Sebagai penutup tulisan ini, penulis hanya ingin mengatakan di tengah kondisi yang amat dilematis, dialektis dan interaktif- dialogis, kita perlu lebih berhati-hati, kritis dan bukan anti dialektis, bukan juga anti dialogis. Karena paradigma akan menghantarkan kita pada idelalis, memilih ruang praksis dan menempatkan yang seharusnya antara yang tidak seharusnya.





*Dendi Sutarto adalah Mahasiswa Sosiologi Agama Ushuluddin
Universitas Islan Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.



















Reference;

Abdullah, M. Amin, dkk. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga
_____. 2004. Studi Islam Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_____. 2006. Islamic Studies, Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman. 1990. The Social Construction of Reality; A Treatise in the Sosiology of Knowledge,terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES
Berger, Peter L. 1991. The Sacred Canopy, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES
Esposito, John L , dkk. 1999. Islam, Modernism and The West; Cultural and Political Relations at The End of the Millennium, terj. Ahmad Syahidah, Yogyakarta: Qalam
Hanafi, Hasan. 1999. Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, terj. M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina
Ilyas, Yunahar. 1992. Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia
Nasr, Seyyed Hossein. 1997. Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nur, Afrizal. 2005. Menyoal Hermeneutika, Sebagai Sebuah Pendekatan Pemahaman Al Qur’an, dalam Jurnal Ushuluddin Nomor 1 Vol.VIII. Pekanbaru: UIN Suqos
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (ed). 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Mizan, Bandung: PT Mizan Pustaka.
O’dea, Thomas F. 1985. The Sociology of Religion, terj.Yosagama, Jakarta: Rajawali Pers
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci, Negara dan Hegomoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Priyono, B. Herry . 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustaka Populer Gramedia
Ritzer . 2003. George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimanda, Jakarta: Kencana
Ritzer, George. 2005. The Postmodern Social Thory, terj.Muhammad Taufik, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Soekanto, Soerjono . 1987. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers
Said, Edwar W. 2001. Orientalism, terj. Asep Hikmat, Bandung: Penerbit Pustaka
Smith, Huston. 2003. Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief, terj. Ary Budiyanto, Bandung: Mizan
Turner, Bryan S. 2002. Orientalism, Postmodernism, and Globalism, terj. Eko Syafrudien, Jakarta:Riora Cipta
_____. 2003. Religion and Social Theory, terj. Inyak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD












































[1] Yunahan Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI, 1992, hlm. 5
[2] Afrizal Nur, Menyoal Hermeneutika, Sebagai Sebuah Pendekatan Pemahaman Al Qur’an, dalam Jurnal Ushuluddin Nomor 1 Vol.VIII. Pekanbaru: UIN Suqos. 2005. hlm. 109-110
[3] Amin Abdullah, Studi Islam Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. hlm. 9
[4] George Ritzer, The Postmodern Social Thory, terj.Muhammad Taufik, Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005. hlm. 50
[5] Peter L. Berger dan Thomas Luckman, The Social Construction of Reality; A Treatise in the Sosiology of Knowledge,terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES. 1990. hlm. xx. Lihat juga Peter L. Berger, The Sacred Canopy, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES. 1991
[6] Briyan S.Turner, Orientalism, Postmodernism, and Globalism, terj. Eko Syafrudien, Jakarta:Riora Cipta. 2002. hlm. 3
[7] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegomoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
[8] Edwar W. Said, Orientalism, terj. Asep Hikmat, Bandung: Penerbit Pustaka. 2001
[9] Hasan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, terj. M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina. 1999. hlm. 8
[10] John L.Esposito, dkk, Islam, Modernism and The West; Cultural and Political Relations at The End of the Millennium, terj. Ahmad Syahidah, Yogyakarta: Qalam
[11] Lihat, George Ritzer, Teori Sosial Posmodern, Tentang pemikiran Frendrich Nietzsche, dan lihat juga, Filsafat Nietzsche........
[12] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997
[13] Huston Smith, Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief, terj. Ary Budiyanto, Bandung: Mizan. 2003. hlm. 7
[14] M. Amin Abdullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga. 2003. hlm. 3
[15] M. Amin Abdullah, Islamic Studies, Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. hlm. vi-vii
[16]Ibid. hlm. vii-ix
[17] Lihat, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia. 1986. Lihat juga, George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimanda, di editiri oleh, Tri Budi Santoso, Jakarta: Kencana. 2003
[18] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Mizan, Bandung: PT Mizan Pustaka. 2003. hlm. 1237
[19] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers. 1987. hlm.52-53
[20] Thomas F. O’dea, The Sociology of Religion, terj.Yosagama, Jakarta: Rajawali Pers. 1985. hlm. 166
[21] Briyan S. Turner, Religion and Social Theory, terj. Inyak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. hlm. 189
[22] B. Herry-Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustaka Populer Gramedia. 2002. hlm. 8-9