Tuesday, February 27, 2007

Teori Laba-Laba (Prof,Amin Abdullah) Prespektif Kekinian


Integralitas dan Interkoneksitas Keilmuan
Dalam Perspektif Sosiologis
(Menyongsong Perubahan Dunia Keilmuan di UIN Yogyakarta)
Oleh: Dendi Sutarto*
ABSTRACT
This article is early from network various discursus that happened along integrate and interconection scientist between Islamic science and secular sciense. All new paradigm is which on the offered M. Amin Abdullah as rareness for the connection of and terminate the dichotomy science in Islamic college. When this paradigm in applied in State Islamic University the reality still generate various pro and contra. Care to change which is concerning existing and system institution always become the question. At region social social reality of course will bring the implication to appearance culture, ideology, system and come up with the new structure. There is possibility with the existence of interconecsity and integrity open the wide space for dummy creation, autosuggestion, identify the, sympathy and acculturation having the character of culture. When which at the same time when normative-teologis have got the touch of hermeneutica and interpretation of socologis context hence which emerge is human being product, but as adjustment with the change and demand which move very complex, hence mean the universality apocalipse remain to be especial bridge. On the other side at life zone there is big possibility of science power will shift the value and religion norm as social control. Escape by building which wish develop builded by paradigm of interconecsity and integrate, what region epistemology, acsiology and ontology?

Key words: Interkoneksitas dan integralitas, Sains Modern Sekuler, Perubahan Sosial

A. Pendahuluan
Sejak kelahiran Islam, telah kita saksikan realitas sosial yang sarat dengan krisis moralitas dan berbagai ketimpangan struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik yang mengekploitatif, sehingga jurang pemisa antara yang bermodal dan yang tertindas semakin meruncing kepermukaan. Materi, kekuasaan dan elite menjadi sentral kekuasaan (power central) paling menetukan tingkat kebenaran dan keadilan sosial. Tidak jarang pertumpahan darah, peperangan dan permusuhan antar ras, golongan dan bahkan daerah yang dipertajam dengan adanya fanatisme kesukuan yang sempit dalam pencapaian kepentingan tertentu. Kelahiran Islam sebagai rahmatan lil alamin dan sekaligus mengakhiri masa “jahiliyah” dengan kedatangan Muhammad sebagai rasul dan sekaligus penyampai wahyu untuk seluruh alam. Dari ajaran yang agung dan sekaligus fundamental yang menjadi basis sosio-kultural, politik, ekonomi dan segenap tatanan sistem kehidupan manusia. Wahyu yang diturunkan kepada rasul Muhammad beberapa abad yang lalu, sarat dengan muatan nilai aqidah, yang secara sistematis meminjam istilah Hasan al-Banah meliputi wilayah-wilayah[1]; Ilahiyat, yang membicarakan segala yang berkaitan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Nubuwat, pembahasan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, dan termasuk tentang kitab-kitab Allah. Ruhaniyat, kajian yang berhubungan dengan dengan persoalan alam metfisika. Sam’iyyat, sesuatu yang hanya dapat diketahui lewat Sam’I dengan dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah, yang terakumulasi kedalam rangkaian dan fase-fase Iman, Islam dan Ihsan.
Dalam perkembangannya selanjutnya wahyu yang kita kenal secara transendensi, akan memunculkan berbagai manifestasi dalam kehidupan manusia secara sosial dalam masyrakat. Berangkat dari satu ajaran teologis yang mendapat sentuhan interpretasi secara sosiologis kedalam satu kondisi masyarakat plural dan heterogen atau dengan hermeneutika yang merupakan derivasi-derivasi dari kata herme, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang berarti sebagai penghubung antara sang Maha Dewa di langit dengan manusia yang berada di bumi.[2] Hermes bukan saja sebagai orang bisu post man (tukang post), tetapi hermes sekaligus sebagai penafsir pesan wahyu agar dapat dipahami oleh manusia. Sehingga melalui hermes, mampu menginterpretasikan kedalam bahasa pengguna dan sekaligus pendengar, sehingga pesan transendensi mampu ditangkap dan di internalisasikan melalui proses hermeneutika dengan berbagai latar belakang sosial yang berlainan, terutama faktor geografis, kultur, teknologi, pola sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi terbentuknya berbagai zona kajian dan pelembagaan institusi sosial keagamaan. Dari kesadaran perkembangan yang semakin kompleks, teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial, humaniora kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdekatkan jarak perbedaan budaya antar suatu wilayah satu dengan wilayah lain. Kondisi demikian, pada gilirannya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang apa yang disebuat “agama”. Namun agama di era sekarang tidak dapat lagi didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata.[3] Di tengah pergulatan berbagai kemajuan sains yang membawa manusia kepada keterbukaan, sehingga fenomena agama tidak mendapat perhatian yang lebih serius, di sisilain “agama” dikaji dalam lapangan sains dengan berbagai pendekatan keilmuan, sehingga nuasa pluralitas beragama semakin memberikan warna baru yang berhadapan dengan teologis-nornatif. Karena memang ada kecenderungan para pemeluk “agama” dalam memahami substantif lebih “bebas”, fundamental, secara utuh dan konprehensif. Seperti halnya pendekatan fenomenologi yang dibangun oleh Edmund Husserl,[4] melalui kesadaran manusia berusaha menemukan “esensi” keberagamaan dalam kehidupan. Dari sini terkesan bahwa melalui satu bangunan interpretasi makna dari teologis-normatif ke historis yang lebih empiris dan lentur. Pada proses tranformasi nilai, makna yang berjalan seringkali memunculkan perdebatan antara dua kutub normatif-teologi dan historis-empirik dalam kehidupan beragama.
Dalam kajian sosiologi pengetahuan, pada level-level tertentu pengetahuan mampu memperlihatkan struktur kesadaran individual dan bisa membedakan antara pengetahuan dan kesadaran. Semakin menyadari hakekat manusia yang semakin kompleks dan paradoks yang tercermin pada dunia intersubyektivitas. Dari pertautan dan fase-fase zaman yang terus berubahan yang menujukkan bahwa sifat dasar kehidupan manusia dalam masyarakat yang dialektis, sehingga muncul kesadaran dan rumusan-rumusan sebagai penyelaras dengan kondisi perubahan sosial dan tututan-tuntutan zaman. Lebih lanjut dalam pandangan Peter L Berger, kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda dari pada hanya satu kenyaan tunggal secara sosiologi.[5] Pada wilayah praksis sehari-hari memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subyektif, dalam waktu yang hampir bersamaan manusia juga adalah pencipta kenyataan sosial yang dibangun melalui proses eksternalisasi dalam bentuk penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultur sebagai produk manusia, yang kemudian memasuki fase obyektivasi, melalui interaksi sosial pada dunia intersubyektif yang pada prosesnya mengalami tahap institusionalisasi sosial. Internalisasi yang merupakan identifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial, yang pada gilirannya menjadi suatu kenyataan individu dalam kehidupan pusaran waktu. Dalam beberapa momen waktu yang berjalan sangat dialektis, menyongsong perubahan, perdebatan, dikotomis dan berbagai diskursus terutama pada zona ilmu agama dan sains. Memang tidak dipungkiri, terlepas adanya perdebatan yang sengit antara kedua kutub keilmuan tersebut, seiring kemajuan sains di Barat yang telah melintas batas menerobos ruang dan waktu, sehingga melepaskan sekat-sekat kultur, idelogi, politik sampai pada wilayah yang sangat privasi. Melalui pergumulan dengan etika dan nilai baru justru secara tidak sadar dalam waktu yang bersamaan telah membangun satu konstruksi nilai baru kedalam satu wilayah, kultur, ideologi dan ekonomi. Walaupun sebetulnya problema perdebatan sosial dan budaya telah menjadi isu klasik dalam sains kemanusiaan dan kemasyarakatan di abad modern.[6] Dengan berbagai kemajuan, tentu ada keinginan untuk mencari titik terang dan arah yang lebih jelas sebagai keselarasan terhadap kemajuan sains yang telah menduania melalui globalisasi yang telah membentuk Global Village. Di pihak lain ada kegamangan yang luar biasa atas keterbukaan sains Barat terhadap kehidupan agama khusunya di Timur, karena sains Barat yang identik dengan sekulerisasi yang akan membuka lebar ruang kepentingan, hegomoni,[7] ekspansi, kolonialisme Barat (Orientalisme).[8] Sehingga dalam wilayah yang lebih luas dan dialektis, kemunculan Oksidentalisme[9] sebagai salah satu bagian dari reaksi atas wacana kontemporer, atau dialektika peradaban.[10] Keraguan-keraguan ini juga sebenarnya bukan tanpa alasan, namun berangkat dari realitas sosial yang kompleks di dunia masyarakat agama yang tidak jarang eksistensi sains yang dibungkus rapi dengan berbagai “kemasan” telah membawa kepada era modern yang disebut sebagai era sekulerisasi, yaitu era di mana Tuhan dan agama dipisahkan secara radikal dari kehidupan, sehingga eksistensi agama telah terpinggirkan dari realitas kehidupan, nilai, norma dan etika tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan. Sehingga dalam kehidupan modern (sekuler), keberadaan Tuhan menjadi sangat dilematis, di satu sisi, Dia dipersepsikan sebagai yang wujud dan sakral, di sisi lain, kehadiran-Nya tidak memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan sehari-hari manusia, dalam artian yang sangat sederhana manusia tidak mengikatkan diri kepada norma dan aturan Tuhan. Sehingga fungsi Tuhan telah diganti oleh sains dan positivisme yang sangat rasional dan sarat dengan materi. Dengan kondisi seperti inilah Friedrich Nietzsche[11], mengatakan “kematian Tuhan” karena agama mulai terpinggirkan dan bahkan ditinggalkan oleh pemeluknya.
Dari diskursus secara historis problematika modern sains yang menjadi pokok pikiran penting yang menandai kemunculan serta kritik dan krisis yang ditimbulkan oleh penerapan. Banyak kalangan menilai bahwa abad II H/17M merupakan satu fase yang menandai beragam masalah dalam problem sains dan agama dewasa ini.[12] Lebih lanjut Nasr mengatakan sebelum lahirnya filsafat alam yang bersifat materialistik di dunia Barat pun yakni Kristen abad pengetahuan masih memegang satu kosmologi, sebutan lama untuk filsafat alam, yang merupakan unsur metafisika dan ontologi dalam menjelaskan semesta yang mewarisi khzanah tradisi keilmuan Yunani dan Islam. Perubahan radikal terjadi pada abad 17 yang dikenal dengan abad pencerahan yang mencabut akar suci pengetahuan dan melepaskan diri dari sumber intuisi inteleknya. Pada siklus selanjutnya pengaruh sains modern sangat kuat sehingga siapapun tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh tersebut. Namun, tidak dipungkiri bahwa pada perkembangan selanjutnya muncullah suatu kecurigaan yang mengundang upaya kritis terhadap sains modern. Hal ini sebenarnya akibat negatif yang ditimbulkan sains yang justru tidak sejalan dengan cita ideal dan optimisme para pengagum sains tersebut. Kehancuran ekologis, proses dehumanisasi dan berujungnya kehancuran manusia melalui perang merupakan bukti konkrit yang ditunjukkan oleh perkembangan sains. Sehingga orang boleh saja mengatakan bahwa janji kemajuan sains modern tidak lebih sebagai mitos kemajuan. Karena memang di mana pun dan kapan pun manusia hidup, mereka akan senantiasa berhadapan dengan tiga masalah yang tak terelakkan; bagaimana memperoleh makanan dan tempat tinggal dari lingkungan sekitarnya (masalah alamiah), bagaimana hidup bersama dengan orang lain (masalah sosial), dan bagaimana berhubungan dengan kerangka keseluruhan hidup (masalah religius).[13] Dengan kemajuan sains yang menggiring kepada globalisasi yang sekaligus juga menggiring kepada keterbukaan, sehingga pada level-level tertentu manusia merasa sangat diuntungkan oleh kemajuan sains, di mana kebutuhan alamiah secara pragmatis, instant dan konsumtif lebih mudah untuk dicapai sehingga menjadi terbudaya, pada kehidupan sosial masyarakat hubungan tanpa batas terirotial (Border Less), sehingga masyarakat terintegrasi kedalam satu komunitas global, di mana masyarakat terkonstruk kedalam satu kultur, satu ideologi, dan way of life. Pada gilirannya kondisi pluralitas dan kekompleksitasan sosial ternisbikan sehingga problematika yang menyeret ke konflik sosial semakin meruncing yang diakibatkan adanya kesenjangan ekonomi (kemiskinan), kelas sosial yang terklasifikasi melalui deferensisai yang radikal, sehingga pada aras yang sangat vital agama tidak lagi menjadi kontrol atas perilaku sosial. Agama telah kehilangan ruang batas vitalitas yang universal akan kehidupan manusia, Ataukah agama menemukan “ajalnya” di tengah kedigdayaan sains?
Dari diskursus panjang antara sains dan agama, banyak kalangan masyarakat mengklasifikasikan kedalam dua faksi secara radikal yang satu sama lain tidak dapat dipertemukan, namun di sisi lain muncul pertanyaan yang bernada optimis, akankah sains dan agama menemukan titik temu yang cukup ideal? Walaupun dalam perjalan panjang historis hubungan sains dan agama di Barat perna menjadi isu global ketika pemimpin gereja menolak Teori Heliosentris Galileo dan Teori Evolusi Darwin. Pemimpin gereja membuat pernyataan yang berbeda di luar kompetensinya. Sebaliknya Isaac Newton dan tokoh ilmu-ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan, sehingga sampai tiba waktu atau datangnya teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut.[14] Walaupun diskurus ini telah lama menjadi isu sentral sains dan agama, namun pada kesempatan ini kita menengok kembali isu yang hampir bersamaan, namun dalam konteks, ruang dan waktu yang berbeda yaitu bagaimana integrasi dan interkoneksi keilmuan dalam dalam ranah keislaman lebih khusus lagi pada masyarakat kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Akhir-akhir ini telah menjadi tema diskusi dan bahkan seminar baik mahasiswa ataupun dosen khusunya dalam menyongsong konversi Institut ke Universitas, seiring perubahan dan kekompleksitasan zaman, ada tuntutan yang mengharuskan UIN merasa terpanggil untuk merancang satu paradigma baru yang mampu menyandingkan sains dan agama kedalam satu wujud baru melalui integritas dan interkoneksitas keilmuan.

B. Interkoneksitas dan Integralitas, Sebuah Prediksi Perubahan
Dalam kurun beberapa waktu yang lalu, dunia perguruan tinggi Islam khususnya sempat mengalami ketegangan antara sisi “normatif” dan “historis” keberagamaan. Pada perkembangan selanjutnya ada keinginan yang kuat untuk meredahkan ketegangan antara faksi teologis-normatif dan sisi sains yang dikotomis, khususnya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Melihat ketegangan yang terjadi, M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” dan “integrasi” sebagai upaya mengurangi ketegangan yang seringkali tidak prodiktif dalam studi keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi.[15] Dalam menyongsong tranformasi kelembagaan dan sistem yang sangat dinamis terutama paradigma keilmuan keislaman menuju format UIN yang dicita-citakan. Ada dua catatan penting yang menjadi perhatian dan sekaligus menjadi bahan diskusi yang sangat menarik ; pertama, ”Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama : Dari Positivistik-Sekularistik ke Teoantroposentrik-Integralistik “, dan kedua; “Dari Pendekatan Dikotomistik-atomistik ke integratif-interkonektif”. Dari pendekatan “integrasi” keilmuan yang seolah-olah berharap tidak ada lagi ketegangan, dengan cara meleburkan dan melumutkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-propanitas” atau justru sebaliknya dengan membenamkan dan meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagamaan Islam ke wilayah normativitas-sakralitas tanpa reserve, inilah sebenarnya yang menjadi alasan M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humiliy (rendah hati) dan human (manusiawi).
Berangkat dari paradigama “interkoneksitas” yang berasumsi untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. dalam menyatukan, saling menyapa antara satu bangunan ilmu satu dengan lainnya, terutama sains dan agama. Interkoneksitas atas dikotomi setidaknya dapat didekati dengan tiga perspektif; epistemologi, aksiologi dan ontologis, yang masing-masing memberikan respon tehadap dikotomi pendidikan, menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, terbuka dan dialogis serta mencairkan hubungan berbagai disiplin keilmuan menjadi terbuka, namun meskipun masih ada persinggungan antara wilayah (Hadlarah al-Nash), dan juga pendukung budaya (Hadlarah al-Ilm) serta pendukung (Hadlarah al-Falsafah)[16]. Hanya saja, cara berpikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu perlu berubah. Problem selanjutnya yang menjadi core dalam menyongsong tranformasi keilmuan di perguruan tinggi Islam dalam menemukan titik temu antara sains dan agama melalui paradigma intekoneksitas, namun pertanyaan seringkali muncul apakah pada dataran epistemologi, aksiologi dan bahkan mungkin juga ontologi semata yang ingin dibangun menjadi central paradigma sains dan agama. Dalam arti yang lebih luas apakah sains dan agama dipertemukan pada level epistemologi, namun di sini juga beberapa kalangan cenderung mengkritik sains Barat karena metodologi yang berkembangn sangat menyisihkan dan mengalienasi wilayah transendentalitas, sehingga sisi ketuhanan ternisbihkan dan tidak menutup kemungkinan memunculkan apa yang perna dikatakan oleh Friedrich Nietzsche, hilangnya makna ketuhanan dalam kehidupan sosial, atau barang kali seprti anomi, perseteruan nilai moral dalam kehidupan sosial yang dikatakan oleh Emile Durkheim.[17] Namun sebagian Muslim mengemukakan bahwa sains yang berkembang pada masyarakat Muslim dahulu berbeda dengan sains di Barat, pada masyarakat Muslim aspek ketuhanan menjadi titik pijakan sains. Walaupun itu sebenernya sangat sulit melihat batasan-batasan wilayah sains dan agama dalam dua kutub “Barat dan Timur”. Sebagai contoh, pada masa Dinasti Umayyah mendirikan observatorium astronomi di Damaskus awal tahun 700. selama paruh kedua abad ke-2 H/8 M, Khalifah kedua Dinasti ‘Abbasiyyah, Al-Manshur, yelah mengumpulkan sejumlah ilmuan di Bagdad, termasuk dokter-dokter dari Persia dan para antronot dari India. Karya-karya abad ke-2 H/8 M dari ahli kimia termasyhur, Jabir ibn Haayyan (w.800 M).[18] Membuktikan bahwa keakraban umat muslim dengan berbagai sains yang terintegrasi kedalam kultur dengan nilai Islam. Pada bagian lain mungkin juga level ontologis, di mana teori sains berbicara mengenai realitas dan dirujuk dengan pandangan keagamaan, sehingga ada kemungkinan di sisi lain epistemologi dan metodologinya tak tersentuh, dianggap relatif dan bebas nilai, baru dilakukan integrasi pada level ontologi. Sedangkan aksiologi mungkin pada cabang-cabang ilmu tertentu. Namun integritas dan interkoneksitas seringkali terkesan bahwa sains mengalami ekslusif karena diklaim telah diislamkan, dan ini bisa memunculkan persoalan karena umat Islam masing-masing mempunyai pandangan sendiri-sendiri dalam menterjemahkan sains dan agama.
Di luar perdebatan pro-kontra sains dan agama, apakah memunculkan sistesis baru “Islamisasi sains”, “Eksklusif sains” dan bahkan teologis-nornatif dan sains berjalan sendiri-sendiri. Namun lebih jauh dengan adanya perubahan paradigma di perguruan tinggi Islam, tentu bukan tanpa implikasi sosial masyarakat. Ketika interkoneksitas dan bahkan integralitas menjadi salah satu bangunan metodologi di dalam penerapan keilmuan antara ilmu Islam dan sains sekuler di padukan kedalam satu “komunitas”. Terlepas adanya tuntutan perubahan zaman dan kedigdayaan sains secara global, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tuntutan akan kebutuhan pasar, sehingga institusi sosial agama (Perguruan Tinggi Islam) di setting oleh pasar global, yang menempatkan aspek idealis dan pragmatis akan berubah seiring perubahan tuntutan karena ada pandangan, jika tuntutan itu tidak terpenuhi maka eksistensi institusi di pasar sains global akan kehilangan posisi survive. Tidak diragukan lagi ketika tejadi saling sapa, interaksi, maka dialogispun akan terjadi, pertemuan dua kutub sains sekuler dan agama akan memberikan warna baru khususnya di perguruan tinggi Islam dalam hal ini UIN Sunan Kalijaga. Karena yang ingin di bangun adalah zona paradigma yang menjadi salah satu unsur fundamental yang sangat vital, maka ini akan memunculkan satu pola baru konstruksi yang sangat mempengaruhi alur sistem dan struktur telah ada, sehingga pada level praksis akan melahirkan budaya baru, pandangan hidup dan cara berpikir baru sesuai dengan kebutuhan trend dan perubahan yang berlaku. Pada kondisi tertentu ketika berlangsung proses interaksi yang didasarkan pada berbagai faktor, baik secara imitasi, sugesti, identifikasi, simpati dan akulturasi.[19] Hal-hal tersebut merupakan faktor minimal dalam interaksi sosial, walaupun pada kenyataan lebih lanjut proses yang berlangsung justru sangat kompleks. Ketika interksi yang berjalan pada wilayah interkoneksitas dan bahakan integritas lebih didominasi watak dan kultur sains sekuler, maka tidak dipungkiri perguruan tinggi Islam menjadi korban sains di abad modern. Karena sekulerisasi kebudayaan terutama akan menyusutkan hal yang sakral dan peningkatan rasionalitas fikiran manusia, keduanya merupakan perubahan bentuk pemikiran dan tranformasi masyarakat.[20] Perubahan pada zona pemikiran yang kompleks melahirkan berbagai manifestasi terutama pada kegiatan utama manusia, lebih jauh melahirkana perubahan dalan sistem ide, gagasan, kultur yang terpola dan terlembagakan kedalam struktur. Sehingga transformasi yang berjalan sangat dialogis dan interaktif sarat dengan perubahan “nilai”. Dengan adanya paradigma baru dalam menyongsong tranformasi UIN dalam melepaskan dikotomi antara ilmu Islam dan sains sekuler, tentu sebagian kalangan sangat apresiasif dengan adanya perubahan, namun sisi lain banyak pihak yang mencemaskan perubahan paradigma di UIN khususnya, karena ada kemungkinan dari arus tranformasi yang bergulir yang mengalami perubahan justru pada wilayah kultur, wajah, ideologi dan sistem yang lebih ke arah sekulerisme, sehingga Islam hanya menjadi logo yang hanya bermakna simbolik semata, sedangkan pada praksis sosial masyarakat lebih didominanasi nuansa sains sekuler dibandingkan nuansa sufisme dan tradisi-tadisi keislaman yang lebih menampilkan sisi substantif nilai moral keislaman. Sehingga muncul kesenjangan antara kesalehan sosial dan “kesalehan sains sekuler modern”.
Di tengah kegalauan dan problematika sains modern yang semakin kompleks dengan nilai dan budaya baru yang semakin akrab dengan berbagai krisis moral sampai krisis kolektif yang berujung pada ketergantung sains global. Dalam makna yang lebih luas, ketika keterbukaan dalam hal ini interkoneksitas dan integralitas Islam dan sains modern sekuler tanpa didukung oleh kemampuan Islam yang mafan sebagai filter untuk menemukan titik keseimbangan maka, dalam waktu yang bersamaan justru sainslah akan mengiring manusia beragama ke kondisi menemukan ajalnya di tengah kedigdayaan sains sekuler. Kekhawatiran ini tentu tidak terlalu berlebihan dan juga di dukung oleh alasan yang menjadi satu ralitas di mana manusia beragama merasa risih dan cemasan, namun di sisi lain tidak semata-mata “mengharamkan sains”, hanya saja ruang yang dibuka oleh wilayah agama terlalu luas sehingga sangat sulit untuk dibendung dampak negatif sains sekuler. Secara normatif-teologis wahyu akan selalu menjadi satu kerangka berpikir yang mempunyai makna universal sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pada giliran lain wahyu sangat penting untuk di pahami dan diinterpretasikan sesuai dengan konteks sosial masyarakat yang ada, tentu yang mempunyai prasyarat tidak mengaburkan nilai dan substansi yang menjadi pesan suci transendensi universal. Sehingga dalam menyongsong perubahan dalam melepas dikotomi islam dan sekuler khususnya di UIN perlu berhati-hati, baik pada bangunan paradigmanya, apliktif, kontol dan sampai pada wilayah-wilayah mana yang menjadi prioritas perubahan, sehingga dalam perjalanan interkoneksitas dan integralitas keilmuan mempunyai arah yang jelas dan tidak semata bermain pada wilayah metodologi dan konseptual. Dalam berbagai pergulatan kehidupan yang amat kompleks, seringkali peran metodologi dan wilayah teoritis bukanlah suatu hal yang mengikat dalam setiap aktivitas terutama dunia kampus mahasiswa. Sehingga sangat besar peluang untuk memunculkan perilaku-perilaku yang menggeserkan nilai dan kultur agama yang ada. Agama disamping sebagai perekat kehidupan secara kolektif dan mempertahankan kohesi sosial[21], namun pada sisi lain akan memunculkan potensi-potensi konflik kepentingan antar kelompok-kelompok yang cenderung antagonistic yang sarat kepentingan. Dalam pandangan fungsionalis lain cenderung mengatakan agama sebagai institusi kontrol sosial paling utama dalam hubungan sosial yang berlangsung. Seiring bergantinya satu tatanan dan sistem baru pada institusi maka masing-masing unsur satu dengan yang lain mengalami kegoncangan atas kemapanan yang telah tertata. Pada kondisi perubahan, tranformasi yang berjalan secara dialogis dan di sisilain tidak menutup kemungkinan dialektis, namun yang menjadi kata kunci dalam memahami pendamaian itu adalah nilai (value) yang mengikat kebutuhan atau tindakan para individu dengan tatanan yang berjalan.[22] Dalam pemahaman yang berbeda kemungkinan membuka ruang lebar-lebar sebagai antitesa dari tatanan yang telah ada juga sangat berpeluang. Sebagai penutup tulisan ini, penulis hanya ingin mengatakan di tengah kondisi yang amat dilematis, dialektis dan interaktif- dialogis, kita perlu lebih berhati-hati, kritis dan bukan anti dialektis, bukan juga anti dialogis. Karena paradigma akan menghantarkan kita pada idelalis, memilih ruang praksis dan menempatkan yang seharusnya antara yang tidak seharusnya.





*Dendi Sutarto adalah Mahasiswa Sosiologi Agama Ushuluddin
Universitas Islan Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.



















Reference;

Abdullah, M. Amin, dkk. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga
_____. 2004. Studi Islam Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_____. 2006. Islamic Studies, Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman. 1990. The Social Construction of Reality; A Treatise in the Sosiology of Knowledge,terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES
Berger, Peter L. 1991. The Sacred Canopy, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES
Esposito, John L , dkk. 1999. Islam, Modernism and The West; Cultural and Political Relations at The End of the Millennium, terj. Ahmad Syahidah, Yogyakarta: Qalam
Hanafi, Hasan. 1999. Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, terj. M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina
Ilyas, Yunahar. 1992. Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia
Nasr, Seyyed Hossein. 1997. Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nur, Afrizal. 2005. Menyoal Hermeneutika, Sebagai Sebuah Pendekatan Pemahaman Al Qur’an, dalam Jurnal Ushuluddin Nomor 1 Vol.VIII. Pekanbaru: UIN Suqos
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (ed). 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Mizan, Bandung: PT Mizan Pustaka.
O’dea, Thomas F. 1985. The Sociology of Religion, terj.Yosagama, Jakarta: Rajawali Pers
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci, Negara dan Hegomoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Priyono, B. Herry . 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustaka Populer Gramedia
Ritzer . 2003. George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimanda, Jakarta: Kencana
Ritzer, George. 2005. The Postmodern Social Thory, terj.Muhammad Taufik, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Soekanto, Soerjono . 1987. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers
Said, Edwar W. 2001. Orientalism, terj. Asep Hikmat, Bandung: Penerbit Pustaka
Smith, Huston. 2003. Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief, terj. Ary Budiyanto, Bandung: Mizan
Turner, Bryan S. 2002. Orientalism, Postmodernism, and Globalism, terj. Eko Syafrudien, Jakarta:Riora Cipta
_____. 2003. Religion and Social Theory, terj. Inyak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD












































[1] Yunahan Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: LPPI, 1992, hlm. 5
[2] Afrizal Nur, Menyoal Hermeneutika, Sebagai Sebuah Pendekatan Pemahaman Al Qur’an, dalam Jurnal Ushuluddin Nomor 1 Vol.VIII. Pekanbaru: UIN Suqos. 2005. hlm. 109-110
[3] Amin Abdullah, Studi Islam Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. hlm. 9
[4] George Ritzer, The Postmodern Social Thory, terj.Muhammad Taufik, Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005. hlm. 50
[5] Peter L. Berger dan Thomas Luckman, The Social Construction of Reality; A Treatise in the Sosiology of Knowledge,terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES. 1990. hlm. xx. Lihat juga Peter L. Berger, The Sacred Canopy, terj. Hartono, Jakarta: LP3ES. 1991
[6] Briyan S.Turner, Orientalism, Postmodernism, and Globalism, terj. Eko Syafrudien, Jakarta:Riora Cipta. 2002. hlm. 3
[7] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegomoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
[8] Edwar W. Said, Orientalism, terj. Asep Hikmat, Bandung: Penerbit Pustaka. 2001
[9] Hasan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, terj. M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina. 1999. hlm. 8
[10] John L.Esposito, dkk, Islam, Modernism and The West; Cultural and Political Relations at The End of the Millennium, terj. Ahmad Syahidah, Yogyakarta: Qalam
[11] Lihat, George Ritzer, Teori Sosial Posmodern, Tentang pemikiran Frendrich Nietzsche, dan lihat juga, Filsafat Nietzsche........
[12] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997
[13] Huston Smith, Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief, terj. Ary Budiyanto, Bandung: Mizan. 2003. hlm. 7
[14] M. Amin Abdullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga. 2003. hlm. 3
[15] M. Amin Abdullah, Islamic Studies, Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. hlm. vi-vii
[16]Ibid. hlm. vii-ix
[17] Lihat, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia. 1986. Lihat juga, George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimanda, di editiri oleh, Tri Budi Santoso, Jakarta: Kencana. 2003
[18] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Mizan, Bandung: PT Mizan Pustaka. 2003. hlm. 1237
[19] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers. 1987. hlm.52-53
[20] Thomas F. O’dea, The Sociology of Religion, terj.Yosagama, Jakarta: Rajawali Pers. 1985. hlm. 166
[21] Briyan S. Turner, Religion and Social Theory, terj. Inyak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. hlm. 189
[22] B. Herry-Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustaka Populer Gramedia. 2002. hlm. 8-9