Monday, March 5, 2007

Penundukan Paradigma (teori Laba-laba)





PENUNDUKAN PARADIGMA?
(Kajian Kritis Terhadap buku ”Islamic Studies
Di Perguruan Tinggi” Karya Amin Abdullah)
Oleh: Akhmad Arifin Al Djawi*



Amin Abdullah dalam bukunya: Islamic Studies, memfokuskan diri pada kritik terhadap epistemology, aksiologi maupun ontologis terhadap pemikiran ulama-ulama terdahulu. Dalam pemikiran epistemology lama, tradisi pemikiran bayani merupakan pemikiran yang dominant dalam kancah pemikiran islam sampai sekarang ini. '
Dalam epistemology bayani suatu kebenaran tergantung pada teks lahir. Segala sesuatu mana yang benar dan salah, tergantung apakah hal tersebut sesuai atau tidak dengan teks. Kalau tidak cocok, maka ia adalah salah sedangkan apabila ia sesuai maka ia adalah benar adanya. Sehingga penalaran model seperti ini mempunyai sifat benar dan salah, deduktif (qiyas), apologis, tertutup (lihat hal.202-203) .
Padahal suatu paradigma tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran bukan karena ia benar secara sendirinya (transcendent), tetapi hal tersebut lebih dikarenakan kemenangan politis maupun sosiologis. Paradigma bayani didukung oleh para ulama kalam, ahli fiqih serta dilegalkan oleh politisi penguasa sehingga dengan aspek kesejarahan ini, paradigma bayani mampu mengalahkan secara histories atas epistemology burhani dan irfani(hal. 202).
Sehingga pengkajian terhadap islam histories harus lebih didahulukan daripada kajian islam normative. Pengkajian historistik merupakan kajian yang kritis, mendalam, interpretative, dialogis sehingga ia lebih mempunyai sifat inklusif dan pluralisme. Kajian model historistis ini lebih dipengaruhi oleh para filsuf keilmuan barat, semisal Thomas Kuhn yang melakukan kajian histories terhadap paradigma keilmuan modern (positivistik) (hal.43).
Sehingga dengan menggunakan metode yang sama, ia melakukan langkah yang sama terhadap kajian islam. Menurutnya, bahwa kredo, ajaran, dogma berbeda dengan keyakinan atau keimanan transcendental. Kredo/dogma adalah mempunyai sifat arbitrer, otoritatif, histories sedangkan keimanan merupakan aspek normativitas yang statis, abadi, tidak berubah. Sehingga kritik terhadap paradigma atau pun kredo merupakan kritik terhadap pemahaman author (ulama) bukan pada aspek keimanan atau normativitas (lih. hal. 73).
Permasalahan terletak pada subyektivitas, relativitas dan pluralisme pemahaman terhadap teks (aspek normative). Dan pemahaman terhadap teks tergantung pada keadaan, sifat pribadi, factor sosiologis-politis serta konteks waktu dan tempat. Sehingga pemahaman terhadap teks bersifat dinamis dan bukan statis. Sehingga tidak diperlukan adanya suatu pemaksaan atau penundukkan terhadap cara baca teks. Teks senantiasa terbuka pada penafsiran, sehingga ulama sebagai otoritas sebagai pemuka umat tidak mempunyai hak untuk memaksakan penafsiran .
Selain dalam segi epistemology, dalam segi ontologis ia melakukan alternative pemikiran yang lain. Dengan langkah yang sama seperti dilakukan Cak Nur yang merekonstruksi tafsir "muslim", dalam bukunya, Amin Abdullah, mengelaborasi istilah "fitrah" dan "din". Fitrah merupakan wilayah kekosongan atau alam pra-bahasa, sedangkan dalam din yang berarti agama, dimengerti sebagai agama islam yang dibawa nabi Muhammad adalah salah satu dari sekian banyak agama di dunia yang mempunyai satu hakekat atau sumber yang sama (hal. 236). Sehingga pemikiran islam Amin Abdullah lebih menekankan aspek Perenialisme dan pluralisme.
Sehingga sebagai alternative pemikirannya, maka diperlukan suatu macam proses dialogis dengan pemikiran barat, karena kemunculan filsafat islam lahir karena persentuhan, dialog, respon dan perkawinannya dengan tradisi pemikiran di barat. Kalau dulu para filsuf muslim seperti Ibnu Sina, Al Farabi dan Ibn Rusyd bersentuhan langsung dengan filsuf Yunan (Aristoteles dan Plato), maka ummat muslim sekarang seharusnya melakukan hal yang serupa dengan kecenderungan filsafat Barat kontemporer (hal. 316).
Filsafat barat kontemporer ditandai dengan pluralisme dan dekonstruksionalisme, dimana tidak adanya suatu kemungkinan terjadinya truth claim, sehingga kebenaran dipahami sebagai mempunyai sifat pluralistic. Sehingga sikap keterbukaan dan pluralisme serta dekonstruksi terhadap truth claim merupakan suatu hal yang urgen yang dilakukan oleh para pemikir muslim[1].
Kalau tidak dilakukan suatu proses dialogis maka akan terjadi kemacetan atau kebuntuan berfikir. Sehingga ummat muslim selalu mengulang-ulang teks-teks yang ditulis ulama terdahulu yang dianggap final, tertutup, tabu terhadap kritik dsb. Sehingga dalam hal ini diperlukan cara berfikir yang histories dengan menggunakan sarana ilmiah untuk meruntuhkan paradigma atau struktur bangunan pemikiran islam, yang berupa fikh, kalam, tasawuf dan epistemology bayani yang telah dianggap sebagai baku dan final (hal. 189).
dalam mendekonstruksi bangunan pemikiran islam, Amin Abdullah mengambil corak berfikikirnya Lakatos, yaitu tentang protective belt dan hard core. Protective belt merupakan struktur pemikiran islam, paradigma, epistemology yang mempunyai sifat histories, terbuka, interpretasi dan debatable sedangkan wilayah hard core merupakan wilayah sacral, dimana wilayah ini merupakan aspek normativitas atau keyakinan dasar yang aman dari kritik .
Sampai di sini dulu pembahasan singkat tehadap point-point dan corak pemikiram Amin Abdullah di antara berbagai corak dan produk pemikirannya yang beragam. Menurut hemat penulis, ada kesan "usaha penundukan" corak berfikir yang sangat beragam (pluralitas) dalam tulisan-tulisannya. Seharusnya dengan gaya berfikir pluralis-historistik dihindarkan sikap menegatifkan corak berfikir yang lain dan menganggap corak pemikirannya yang harus diikuti dan diterapkan dalam system pendidikan, sehingga ada inkonsistensi atau tidak konsistennya antara gaya berfikir yang inklusif yang dicirikan sebagai dialogis dan menghargai menjadi corak yang menundukkan gaya berfikir tekstualis-sakralis.
Bahkan dalam karyanya Amin Abdullah terkesan akan usaha perlunya menjadikan islam sebagai obyek penelitian histories. Mau tidak mau, mengaku atau tidak mengaku, gaya berfikir ini akan menggoyang tatanan kesakralan yang merupakan suatu yang inhern dalam berfikir "agamis". Adakah agama yang tidak mempunyai sikap sacral dalam pengalaman beragamanya, Termasuk komunisme yang merupakan psedo-agama?.
Agama ketika ditinjau dari sudut pandang sosiologis akan kita dapati agama hanyalah hasil interaksi social, ditinjau dari sudut pandang sejarah agama hanyalah sebagai produk tarik-menarik kepentingan penguasaan, sedangkan agama ditinjau dari psikologi, ia hanyalah merupakan suatu hasil imajinasi manusia yang mempunyai tuntutan emosional. Sehingga apabila agama dijadikan obyek pengetahuan, maka akan terjadi proses "reduksional" ke dalam proses yang sifatnya alami (naturally). Sehingga agama bukan sebagai hal yang transcendent.
Selain itu ilmu positivistic (sosiologi dan psikologi) tidak memungkinkan adanya suatu hal yang "Transendent" sebagai suatu hal yang "ada". Apabila dikatakan perlunya tinjauan agama dari sudut pengetahuan atau filsafat barat, maka pertanyaannya adalah, "bagaimana jadinya kalau pemahaman agama islam ditinjau dari psikoanalisa Sigmund Freud?" apakah agama sebagai ilusi palsu dari alam bawah sadar, atau ia sebagai dari proses pengalihan dari insting seksual[2]? Apakah metode ini sah menurut Amin Abdullah? Apabila sah, maka hal tersebut bertentengan dengan prinsip spiritual yang menjadi basis ontologis dalam pemikiran Amin Abdullah (hal. 235), tetapi kalau tidak maka juga terjadi inkoherensi dalam pemikirannya, bahwa tidak ada suatu lembaga apapun yang berhak memaksakan kebenaran (hal. 279).
Sedangkan pemikiran historisitas atau tinjauan dari aspek kesejarahan, akan berdampak pada desakralisasi, tidak hanya dalam pemikiran islam, tetapi "keyakinan" islam itu sendiri sebagai bagian dari sejarah. Mungkin di sinilah letak perbedaan antara penulis dan Amin Abdullah. Kalau penulis agama diartikan bukan sebagai bagian dari konsep pemikiran yang menyejarah, tetapi ia adalah keyakinan atau prinsip keimanan yang mempunyai aspek kesucian akan sesuatu, dalam hal ini islam. Sedangkan Amin memfokuskan diri pada agama yang terjelma dalam bentuk lembaga, dimana lembaga ini berperan sebagai author, yang berhak mengatasnamakan kebenaran dan agama untuk memaksakan penafsiran terhadap audiens atau reader (masyarakat pembaca text) (lihat bab. 3.3).
Sebenarnya Amin Abdullah ingin menegaskan bahwa semua bentuk keyakinan atau system kepercayaan adalah melekat pada historisitas manusia. Sehingga tekanan pada pembedaan antara hard Core (ajaran inti) dan Protective belt (sabuk pengaman) menjadi rancu. Seolah sabuk pengaman dijadikan tameng "agama" biar agama tidak bisa dikritisi, biarlah yang dikritisi hanyalah protective belt (sabuk pengaman).
Protective belt meliputi: kalam, falsafah, fiqh dan tasawuf. Keempatnya adalah produk pemikiran sejarah yang sama-sama berlandaskan kepada al Qur'an. Tetapi keempatnya mengalami sejarah konflik yang begitu tajam. Kalam dan fiqh di satu pihak dengan tawawuf dan filsafat di bagian yang lain (hal. 142-145). Kalam dan fiqh yang bersifat kaku, tekstual, ekslusif, tertutup merupakah paham yang mendominasi pemikiran islam sampai saat ini, sedangkan tasawuf dan filsafat mengalami kemunduran paska Ibnu Rusyd.
Berhentinya Pemikiran filsafat yang bercorak dinamis, kritis, radikal, dialogis mengakibatkan cara berfikir islam yang jumud, statis, universal, final, dsb. Sehingga pemikiran islam telah berhenti sejak 500 tahun yang lalu. Sedangkan dalam dunia Kristen, filsafat mengalami perkembangan yang maju. Dimulai oleh Descartes, John Locke, sampai pemikiran eksistensialis dan fenomenologis. Sehingga islam telah ketinggalan jauh dari filsafat barat.
Penulis akan terlebih dahulu mengkritisi pendapat Amin Abdullah tentang Hard core dan Protective Belt yang diambil dari Lakatos dan disintesiskan denngan pemikiran Fazlurrahman. Dalam pemikirannya tentang kajian kritis terhadap paradigma, epistemology serta aksiologi yang dihasilkan oleh ulama mutaqadimin, maka pertanyaan, sejauh mana produk pemikiran protective belt (pemikiran lapis kedua dalam jarring laba-laba) yang merupakan mempunyai sifat histories. Apakah produk Ilmu kalam yang menyatakan bahwa al Qur;an adalah Wahyu Allah, Allah bersifat wujud (ada), Nabi dijamin kejujurannya, wahyu al Qur'an bukan wahyu akal-akalan, Al Qur'an adalah wahyu yang otentik. Apakah hasil-hasil pemikiran ilmu kalam tersebut merupakan bagian dari sifat arbitrer, kesepakatan social (ulama), mempunyai sifat histories, oleh karena itu dapat dipertanyakan, dikritisi dan didekonstruksi?. Apa yang tersisa dari islam selain sifat sosio-historisnya? Apabila theology didekonstruksi maka bangunan kepercayaan akan mengalami kehancuran dan terjadi anomaly-anomali yang lebih besar lagi, adakah suatu agama yang tidak mempunyai kepercayaan apapun?
Penulis akan mengilustrasikan pemikiran Hard Core dan Protective Belt melalui cerita "Seorang preman dan Anak Pelacur". Suatu hari tanpa sebab yang tidak pasti Preman memukul dan memaki-maki anak pelacur, "dasar Anak tak berguna dan Anak Perempuan sundal", maka dengan merintih kesakitan sang Anak Pelacur itu bertanya "kenapa kau menyakitiku, mnghinaku dan menghina ibuku?" Sang Preman pun menjawab, "aku tidak menyakitimu, aku hanya mengayunkan tanganku hanya pada tubuhmu bukan pada kamu. Aku juga tidak menghina ibumu, aku hanya menceritakan salah satu sifat ibumu saja"
Dalam ilustrasi cerita tersebut, benar bahwa preman tidak menyakiti dan menghina anak dan ibu si anak tersebut. Karena ia hanya menceritakan bentuk (form) bukan pada isi (matter). Form tersebut bukanlah essensi dari matter, sehingga penghinaan atau pelecehan terhadap form tidak bisa dikatakan menghina matter (isi). Dalam logika Amin, form merupakan protective belt, sedangkan matter adalah hard core (ajaran inti, esensi). Ia tidak berniat mendekonstruksi islam, ia hanya berniat mendekonstruksi pemikiran islam.
Mungkin benar bahwa perlu adanya penafsiran yang bersifat historis-interpretatif, dsb yang bersifat dialogis, terbuka, relative, debatable, pluralistis, tetapi pertanyaannya, apakah dampak yang dihasilkan dari wacana seperti ini? Sehingga apabila mau adil bukan hanya melihat segi positifnya saja tetapi harus melihat dari segi negative. Apakah penafsiran yang terbuka, bebas, relative tidak memungkinkan terjadinya semena-menanya seseorang dalam menafsirkan Al Qur'an (text). Apabila text tidak lagi dihayati sebagai yang sacral karena kesakralannya hilang dengan pola pikir kebaratan. Apakah makna dari pola berfikir kebaratan ini ketika melakukan penafsiran terhadap al Qur'an?, apakah ia menerima secara bulat bahwa al Qur'an merupakan suatu hal yang suci, tabu, bimbingan ilahi, dsb. Kalau tidak, apa artinya menjadikan al Qur'an sebagai ajaran inti (hard core)?.
Seandainya dalam tingkatan theologies, Tuhan dan Kebenaran tidak lagi mempunyai sifat transcendental, sacral, tabu, final, tetapi theology merupakan suatu hal yang bersifat arbitrer, hostoristis, maka dalam tingkatan theologies ini betapa telah terjadi suatu skeptisme dan nihilistic terhadap konsep kebenaran. Sedangkan di tingkat sosiologi Amin Abdullah, memberikan alternative untuk terbuka atau inklusif terhadap ummat beragama lain, islam tidak dipahami sebagai suatu identitas social, ia hanyalah sikap spiritual terhadap tuhan, dimana wujud eksoterisnya berbeda-beda (lihat hal. 236).
Sehingga islam tidak dipahami sebagai suatu kelompok atau identitas social tertentu yang mempunyai sifat spesifik, dan terikat pada dogma tertentu (al Qur'an dan Sunnah), tetapi hanya sebagai bentuk sikap spiritual semata, yang berlandaskan pada prinsip al Qur'an yang dipahami tidak melalui lembaga/ otoritas keagamaan, tetapi bersifat pribadi, subyektif, interpretative, relatif, dialogis dll. Sehingga tidak ada suatu otoritas apapun yang "menekankan" pada hanya penafsiran tertentu.
Pemahaman seperti ini tidak bisa dikritik melalui sudut pandang tekstualis, misalnya dengan menyebutkan bagaimana perbuatan Nabi dan Sahabat ketika mendirikan bangunan masyarakat di Madinah, karena pemahaman seperti ini pada dasarnya juga menolak episteme bayani sebagai metode menafsirkan agama secara tunggal. Selain itu ia juga mengkritik pemahaman tekstualis yang tidak mempertimbangkan waktu dan tempat (konteks). Amin Abdullah memberikan alternative keterpaduan penafsiran teks dengan kombinasi atau keterpaduan episteme bayani dengan episteme yang lain, yaitu dengan episteme irfani (mistis) dan burhani (logika), atau dengan istilah Amin Abdullah sendiri dinamakan sebagai takwinul Ilmi (223).
Dalam skema yang dibuat oleh Amin sendiri, menunjukkan bahwa epistem irfani dan burhani terletak pada sisi kontekstual-historis-empiris, sedangkan pada epistem normative, ia meletakkan pada sisi normative-ahistoris. Artinya perlu adanya keseimbangan atau sintesa antara normativitas dan historisitas dengan menggunakan ketiga episteme secara sirkuler (224).
Sedangkan dari segi pendekatan studi keagamaan melalui filsafat kontemporer, ia menegaskan perlunya mengikuti trend filsafat barat yaitu hermeneutik-interpretatif. Agama dipahami sebagai masyarakat yang penuh dengan nilai atau makna. Sehingga masyarakat tidak lagi dipahami secara positivistic, harus tunduk pada hukum system social, tetapi ia hidup berkelompok menghasilkan system makna yang harus didekati dengan interpretasi terhadapnya (358). Maka penulis menafsirkan bahwa Amin Abdullah tidak memakai paradigma pengetahuan social lama (positivistic) dalam mengkaji fenomena keagamaan.
Tetapi dalam pemahaman terhadap hermeneutiknya (Dilthey-ian), bahwa seorang penulis dipengaruhi oleh kondisim keadaan, dan situasi ekonomi, politik serta lingkungan socialnuya. Sehingga seorang penulis mempunyai sifat determinan atau ditentukan oleh keadaan. Maka, pertanyaannya, bukankah hal ini merupakan suatu hal yang dikritik oleh pemikiran kontemporer, dan juga Amin sendiri. Kalaupun seorang itu dianggap sebagai produk lingkungan, maka jenis pemikiran seperti ini yang mempunyai kecenderungan untuk mereduksi kesadaran manusia kepada hukum obyektif social, dimana kebebasan manusia tereduksi kedalam mekanisme atau mesin social.
Maka, penulis akan mencoba melihat inkoherensi dalam pemikiran Amin Abdullah yang lain, dalam hal ini penulis akan berusaha mendekonstruksikannya. Inkoherensi dalam hal ini adalah seharusnya Amin lebih bijaksana dalam melihat realitas pemahaman islam konservatif, dimana ia menekankan pendekatan hermeneutika-interpretatif. Islam konservatif seharusnya dilihat sebagai suatu masyarakat yang penuh makna, serta menghasilkan pandangan dunia yang mesintesakan anatara pengetahuan, pengalaman dan perasaan (359). Seharusnya melihat mereka lebih manusiawi, dengan mempertimbangkan "makna" pada mereka, bukannya merubah sesuai dengan paradigma yang diinginkannya. Apakah pola pikir tekstualis tidak memiliki pandangan dunia sesuai dengan pengetahuannya, pengalamannya dan perasaannya, sehingga dianggap bar-bar, jumud dan kolot sehingga harus diubah?
Usaha untuk merubah pandangan social, dimana masyarakat social hanya dijadikan obyek pengamatan, diubah dan direkayasa (social engineering), bukankah hal itu merupakan paradigma fungsionalis yang juga dikritik oleh Amin (358)?. Kenapa harus merekayasa masyarakat kaum muslimin konservatif agar berparadigma keagamaan sesuai dengan paradigma keagamaan seorang Amin Abdullah? Bukankah itu juga termasuk bagian dari rekayasa social, dimana masyarakat muslim konservatif dianggap mesin social yang rusak sehingga perlu diperbaiki dengan merubah pola berfikirnya (bandingkan dengan hal. 255). Maksudnya gaya berfikir kaum muslimin seharusnya diubah agar mengalami kemajuan, dengan menggalang tajdid (pembaharuan pemikiran), sehingga perlu dirombak kurikulum institusi pendidikan kaum muslimin (bag.2.3 dan 4.4).
Pertanyaan yang menarik adalah, apakah Amin (institusi pendidikan UIN) akan menggantikan peran ulama (institusi agama) konservatif yang menekankan metode bayani dan digantikan dengan institusi akademi yang menekankan metode hermeneutic-interpretatif, sebagai otoritas penafsir teks. Bukankah hal itu juga "penundukan" pola berfikir dan bagaimana kita memahami teks, yang juga dikritik oleh Amin sendiri? (lihat bag 3.3).
Upaya penundukan paradigma, dalam pemikiran Lyotard diungkapkan dengan istilah "penundukan permainan bahasa". Permainan bahasa, apapun jenis permainan bahasanya (paradigma histories, tekstualis, positivis dll) berasal dari suatu kultur dan "dipaksakan" untuk ditundukkan kepada kultur yang lain lewat media, pengarahan opini, atau sosialisasi kepada "permainan bahasa yang lain[3]. Sehingga tidak bisa dinafikan adanya ghozwul fikri dalam istilah pergerakan islam kanan.
Pluralisme, HAM, demokrasi, humanisme merupakan "grand narasi" dari suatu "permainan bahasa" tertentu (yaitu kultur Eropa) untuk dipaksakan kepada kultur timur/islam, melalui program pendidikan, perguruan tinggi, media massa, dll. Sehingga apabila ditinjau dari sudut pandang Lyotardian, apa yang dilakukan Amin Abdullah hanyalah sebagai upaya penundukan pola pikir, melalui olah bahasa yang bersifat eufemisme.
Dari sekian banyak "permainan bahasa" tersebut kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan yang salah kalau ditinjau dari segi filsafat karena filsafat sendiri pun pada dirinya sendiri merupakan usaha pencarian makna, hakekat, kebenaran, sehingga tidak bisa menentukan apakah pola pikir "historistis" sebagai suatu hal yang benar sedangkan pola pikir tekstualis sebagai hal yang salah sehingga perlu dirombak dan diperbaharui.
Paradigma "historistis" juga semestinya juga tidak luput dari pendekatan historisitas sendiri. Bagaimana konsep historisitas itu digunakan? Untuk kepentingan apa? Apa akibat yang dihasilkan? Oleh karena itu konsep historisitas itu sendiri juga tidak bebas nilai, kebenaran transenden, universal dll sehingga dengan menggunakan pendekatan seperti ini kita bisa mengatakan bahwa metode ini (historisitas) juga tidak berhak mengklaim sebagai satu-satu alat yang sah untuk mencapai kebenaran. Sehingga memaksakan memakai metode tersebut untuk mengkaji agama juga bukan berarti ia bebas akan kepentingan. Kepentingan tersebut akan terkuak apabila akibat yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut tercapai.
Maka, penulis akan melakukan usaha yang lazim dilakukan oleh filsuf pragmatisme[4]. Maka, penulis akan mengajukan pertanyaan terlebih dulu, apa akibat yang ditimbulkan oleh pemakaian metode historisitas ini ketika digunakan untuk meneropongi obyek keagamaan? Apa pengaruhnya apabila metode ini digunakan kaum muslimin ketika meneropongi agamanya sendiri? Maka menurut hemat penulis, akan terjadi proses desakralisasi agama (pemikiran keagamaan, bhs. Amin Abdullah), relativisme, nihilisme (hal ini tidak dipercaya oleh Amin Abdullah), sehingga pertanyaan penulis, apabila terjadi kondisi seperti hal tersebut, apa makna (interpretative) bahwa al Qur'an (yang merupakan hard core dalam pemikiran Amin Abdullah) sebagai petunjuk yang tidak dapat diragukan (Al Baqoroh: 2)?
Ketakutan akan tercerabutnya sakralitas, terjadinya relativisme, skeptisme dan nihilsisme bukan merupakan ketakutan kaum muslimin yang tidak mendasar. Kita juga tidak buta ketika melihat mahasiswa Ushuludin yang dengan bangga banyak dengan terang-terangan menyebut diri sebagai skeptisme, kaum nietzchean, "kaum anti Tuhan" dsb. Apakah karakter seperti ini yang diharapkan oleh Amin Abdullah? Apakah menurut Amin, Mahasiswa tersebut telah mencapai "pencerahan"? karena telah menggunakan metode historisitas sebagai "alat" pendekatan terhadap studi keagamaan.
Sehingga tidak heran dengan mengatasnamakan kebebasan, pluralisme, sekularisme, desakralisasi lembaga keagamaan, banyak aktivis maupun pemikir islam, baik secara terang-terangan atau tidak, mendukung praktek prostitusi, kebebasan nilai, dsb. Pertanyaan, mana basis spiritual yang merupakan inti dari semua agama (esoteric)?, apa makna pengalaman keberagamaan ketika ia harus "mengikuti" realitas kebebasan nilai, permisivisme, nihilistic disekitarnya?.
Ada dua sikap yang harus kita ambil ketika kita dihadapkan kepada realitas pada era post modern ini, yang ditandakan dengan tranformasi nilai besar-besaran. Sikap pertama adalah bertahan pada nilai yang dianutnya, bersikap apologis, ekslusif, menolak perubahan nilai dsb. Sedangkan sikap yang kedua adalah, mengikuti arus perkembangan sembari merombak total pandangannya tentang nilai (aksiologis) dan kepercayaan (theologies). Sikap pertama diambil oleh penulis, dan sikap kedua diambil oleh Amin Abdullah, yang mengikuti arus deras perubahan sambil menikmati kursi empuk rektorat.
Kedua sikap tersebut, kalau ditinjau dari segi eksistensialis, maka kedua sikap tersebut mencerminkan pilihan/opsi kehidupan, kebebasan bertindak dsb. Kedua sikap tersebut merupakan suatu realitas yang ada di dunia ini, sekarang ini. Tidak ada yang benar dan salah apabila kita meninjau dari segi filsafat (aksiologi). Yang benar dan yang salah apabila salah satu dari kedua sikap tersebut memenangkan "opini" public lewat jalur propaganda[5].
Argument yang sering dilontarkan oleh pendukung sikap yang kedua adalah "kita jangan sampai ketinggalan zaman", "harus meninggalkan keyakinan yang kolot", "zaman telah berganti" dsb. Dan argument yang digunakan oleh pihak yang pertama pun tak kalah serunya, "kita harus berpegang teguh pada keimanan", "kita tidak dipermainkan oleh situasi tetapi merubah situasi", "melawan arus adalah suatu kehormatan" dsb. Maka, kedua macam jenis permainan bahasa (Istilah yang dipakai oleh Wittgeinstein II) tersebut tidak bisa ditentukan mana yang lebih rasional atau tidak rasional.
Sehingga pernyataan Amin Abdullah, bahwa pemikiran konservatif, eksklusif, tertutup, statis merupakan hal yang jelek, salah sehingga harus diluruskan, dibetulkan sehingga mencapai kemajuan, dan tidak mengalami suatu kemunduran sebagaimana yang dirasakan sekarang ini. Karena kebuntuan menghasilkan pemikiran yang baru, dan memilih mereproduksi pemikiran-pemikiran lama daripada memproduksi pemikiran yang baru dan yang sesuai dengan konteks zaman dan tempat (hal. 27).
Pemikiran tersebut, merupakan pemilahan yang dilakukan secara sepihak. Atas dasar apa perubahan, dinamika berfikir, inklusif, sikap pluralisme merupakan suatu kemajuan, kebenaran, suatu keadaan yang ideal yang hendak dituju, direkayasa agar kaum muslimin berfikir seperti itu. Pemikiran tersebut, bahwasanya yang dinamakan kemajuan adalah suatu proses dinamis berfikir, inkusif dsb, hanyalah klaim spekulatif dan diyakini benar secara universal (non relative), transcendental, walaupun Amin Abdullah tidak menyebutnya demikian, tetapi kalau kita melihat pilihan kata-kata dalam kalimat yang ia susun dalam Islamic studies, seakan-akan demikian.
Kalau klaim seperti itu dibenarkan, maka akan terjadi inkoherensi pemikiran lagi, karena (sebagaimana pemikiran Amin Abdullah) "kebenaran" itu sifatnya berproses, bukan suatu hal yang finally, dialogis, relative[6], dsb. Tidak ada satupun yang berhak menentukan criteria terhadap definisi "kemajuan". Kalau kemajuan diartikan sebagai kebebasan berfikir, dinamika berfikir, maka banyak sekali alternative definisi kemajuan yang dibuat oleh orang lain, misalnya 'kemajuan adalah perubahan kea rah nilai moralitas yang lebih islami", "kemajuan adalah tingkat kenaikan GNP yang mengalami kenaikan". Sehingga, menurut hemat penulis, harus ditentukan dulu, arti atau definisi kemajuan, baru setelah itu membuat kebijakan sesuai dengan definisi kita terhadap kemajuan tersebut.
Sehingga apabila dikatakan barat telah mengalami banyak kemajuan dalam segi pemikiran dikarenakan telah dilahirkan banyak filsuf, pemikir, dan pembaharu, apakah yang menjadi criteria penentuan tersebut (banyak filsuf, dinamika pemikiran, pembaharuan, perubahan paradigma) sebagai suatu yang hendak kita tuju?, bukankah jenis ungkapan tersebut bersifat imperative, spekulatif, transenden[7]? Mengapa pemikiran yang statis, jumud dinamakan sebagai suatu kemunduran?
Penulis berani mengatakan seperti hal ini, karena pertanyaan tersebut walaupun sepele, belum pernah penulis dengar dari kaum pemikir yang membahasnya. Karena "criteria kemajuan pemikiran" merupakan suatu hal yang tidak perlu dipertanyakan, dikritisi, didekonstruksi dsb. Dalam hal ini penulis juga mengkritik sikap Amin yang di satu sisi mengkritisi tradisi intelektual kaum muslimin yang mereproduksi pemikiran lama, apologis, taqlid, takut akan kehilangan sakralitasnya, tetapi di sisi yang lain Amin A. juga selalu mengekor dan bertaklid terhadap pemikiran orang lain serta mereproduksinya kembali dan diterapkan dalam institusi pendidikan islam seperti ia mereproduksi pemikiran Lakatos, Rahman, Arkoun, Hanafi. Lalu apa bedanya dengan pemikiran islam konservatif yang dikritiknya, bukankah keduanya sama-sama "taqlid".
Apa yang terbaru dari pemikiran islam liberal di Indonesia selain ungkapan "konteks, konteks, konteks, konteks …… " melulu yang tidak ada habis-habisnya. Bukanah suatu sikap yang lebih baik untuk diambil apabila kita berpegang teguh kepada suatu keyakinan sembari mengembangkan suatu tindakan konkrit seperti peningkatan SDM, pendidikan, social sebagaimana yang dilakukan oleh aktivis gerakan tarbiyah daripada mendekonstruksi keyakinan yang tidak mempunyai manfaat yang dirasakan secara konkrit?
Mungkin suatu hal yang penting apabila penulis menanggapi sindiran Amin Abdullah yang menyatakan bahwa 'right or wrong is my country' (hal 220)[8]. Dalam wilayah aqidah (kepercayaan) islam al Qur'an merupakan suatu petunjuk, yang datang dari Allah, sebagai pedoman kepada orang yang bertaqwa, sehingga al Qur'an ini sebagai pedoman hidup kita. Dan sebagai penafsirannya pun kita menggunakan episteme bayani sebagaimana penulis menafsirkan buku Islamis studies karangan Amin Abdullah. Dengan cara ini penulis mampu membaca serta mengerti apa yang dimaksud pengarang buku tersebut mengenai ide-idenya dsb. Begitu juga dengan cara baca penulis terhadap karya yang lain. Kalau penulis tidak memakai metode tekstualis sebagaimana penulis membaca karya Amin Abdullah, memakai cara apalagi kalau tidak memakai cara tekstualis atau bayani agar penulis paham maksud penulis buku?
Sehingga ketika beliau menulis pernyataan "hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa "agama" dan "ilmu" adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan" (hal.92), apakah semua pembaca akan menafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Bagaimana kita memahami ungkapan seperti itu kalau tidak memakai bahasa tekstual? Sehingga dapat dikatakan bahwa penafsiran terhadap suatu teks mempunyai sedikit variatif, dan dengan sedikit variatif tersebut handaklah tidak dijadikan "senjata pamungkas" untuk mendekonstruksi bangunan ajaran islam, walaupun dengan niat meruntuhkan "bangunan pemikiran islam konservatif".
Dalam al Qur'an maupun sunnah, ketika dibaca oleh kaum muslimin memang didapati berbagai variatif, tetapi hal itu hanya terjadi dalam wilayah yang musytabihaat atau furu'iyyah bukan yang bersifat ushuliyy atau qoth'i. Tidak mungkin jika dua orang muslim yang membaca teks al Qur'an, yang satu menyatakan bahwa Tuhan itu ada satu, sedangkan seorang muslim yang lain menyatakan Tuhan itu ada empat. Kalau seandainya saya salah membaca buku karya Amin Abdullah, disitu setelah saya membaca karya Amin Abdullah saya menyatakan bahwa dalam karya Amin Abdullah dalam buku Islamic Studies, ia (Amin) sangat mendukung keimuan islam konservatif dan menganggap perlu dipertahankan lagi. Apakah pendapat saya keliru? Dalam pemikiran Amin Abdullah seorang author itu tidak berhak memaksakan hasil penafsiran reader, karena penafsiran reader berdasarkan pengalamannya, corak berfikirnya, dll, sehingga penulis menganggap kebebasan penuh untuk menafsirkan semua teks sesuai dengan keinginan penulis. Tetapi untuk apa buku ditulis kalau tidak dilihat sebagai jalinan teks yang bisa dibaca oleh reader, dan kemudian untuk dipahami maknanya?
Memang ada penulisan (teks) dengan menggunakan kalimat puitis, tetapi kalimat puitis atau metaphor mudah dibedakan dengan makna sesungguhnya dari teks tersebut. Sehingga kita bisa dengan mudah membedakan mana yang harus dipahami melalui intuisi dan mana yang harus dipahami melalui akal. Dalam sastra Indonesia kita dengan mudah membedakan mana yang deduktif (kalimat tidak sesungguhnya) dan kalimat induktif (kalimat sesungguhnya).
Begitu juga ketika al Qur'an menyatakan tentang truth claim, bahwa kebenaran di sisi Allah adalah Islam, bukan melalui ajaran yang lain. Teks ini jelas, sehingga tidak memungkinkan penafsiran yang lain, selain didukung oleh Sunnah Nabi. Dan begitu juga pemahaman islam yang dipahami kaum muslimin bersifat eksklusif karena dalam al Qur'an dikatakan demikian. Apabila terjadi perbedaan dalam hal bersikap terhadap teks agama, maka apakah layak teks keagamaan ditafsirkan melalui ideology atau konsep kontemporer, atau sebaliknya konsep kontemporer ditafsirkan dari sudut pandang agama?
Area penundukan terjadi apabila yang menjadi paradigmanya merupakan obyek formalnya, sedangkan paradigma yang akan ditundukkan adalah paradigma yang menjadi obyek materialnya. Apabila agama (sebagai obyek material) ditinjau dari sudut pandang filsafat kontemporer (obyek formal), maka yang selalu menang adalah filsafat kontemporernya. Apabila agama ditinjau dari sudut pandang keilmuan positivistic, maka corak positivistiklah yang berlaku, bukan agama. Sedangkan apabila yang menjadi obyek formalnya adalah ajaran agama, maka corak keagamaannya lah yang menjadi corak pola berfikir.
Sehingga ada suatu usaha "penundukan" yang jelas apabila dua paradigma kebenaran tersebut berlaku sebagai obyek formal. Sehingga disini kita tahu kepentingan apa yang mendasari penulisan buku Amin Abdullah. Ketika ia menyoroti sudut etika melalui agama sebagai pusat aksiologisnya, maka ia ingin menjadikan agama sebagai sumber aksiologis, tetapi kalau mengamati agama dari segi ilmu pengetahuan positivistic, maka ada usaha untuk menundukkan "logika" agama kepada "logika" positivistic.
Menurut pemikiran Kierkegaard, keyakinan adalah suatu lompatan eksistensial. Ia tidak bisa direduksi atau diamati melalui kerja pengamatan (induktif) atau darinya dipikirkan melalui konsep rasional-spekulatif. Manusia tidak tunduk pada lingkungannya, ia bebas, ia bergerak dan merasa dalam dunia ini, dan dalam keadaan, cemas, gelisah dan takut ia akan menemukan eksistensinya memeluk keyakinan dan meninggalkan rasio[9].
Manusia bertindak dan percaya kepada sesuatu sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan bukanlah suatu konsep yang dibuat rasio dan dengan itu ia menyembahnya dan mengatakannya sebagai suatu kebenaran. Keyakinan adalah suatu eksistensi yang lepas dari pemikiran rasio. Sehingga pemikiran eksistensialisme Kierkegaard tidak mengakui adanya suatu konsep kebenaran yang dibuat oleh rasio.
Disini, bukan maksud penulis untuk menunjukkan suatu sikap yang anti rasionalitas. Tetapi penulis ingin menekankan bahwa rasionalitas, hanyalah digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari, dan menghayati keindahan alam semesta ini yang bersifat estetis, sehingga dari situ akan menimbulkan "lompatan iman"[10]. Rasio bukan digunakan untuk mengukur hakekat apa itu kebenaran, apa itu tuhan, apa itu substansi, apa itu hakekat segala sesuatu, atau rasio tidak bisa digunakan dengan hitung-menghitung kebenaran dengan mengawinkannya dengan pemikiran filsafat kontemporer, dan dari situ kita mengikuti kebenaran yang relative yang telah kita buat sendiri.
Tugas Filsafat menurut hemat penulis hanyalah untuk mengikuti kemauan keingintahuan manusia, tetapi ia tidak bisa mencapainya secara finally. Ia bersifat estetis, suatu pekerjaan yang tidak produktif atau tidak mempunyai manfaat secara konkrit, tetapi menghasilkan kepuasan estetis bagi para pelakunya (filsuf). Filsafat adalah suatu pencarian terus-menerus, sehingga ia tidak bisa dijadikan alat ukur untuk menentukan kebenaran apapun.
Filsafat adalah semacam hoby, permainan untuk mengisi waktu senggang. Sebagaimana kita melihat siaran sepak bola, bermain catur, dsb. Tetapi kita mempunyai eksistensi konkrit, kita hidup di tengah realitas natural dan social, kita harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, emosional serta kebutuhan social, sehingga kita tidak lagi mempunyai waktu melamun yang panjang lagi untuk memikirkan dan mencapai "kebenaran" yang final.
Dan hasil perenungan filsafat tidak bisa dijadikan "pedoman" hidup kita. Karena ia hanyalah permainan belaka. Sehingga ketika agama ditinjau dari filsafat, agama hanyalah usaha perenungan yang terus menerus untuk pencarian konsep tentang kebenaran itu sendiri. Sehingga penulis akan memilih sikap meyakini secara eksistensi untuk mempercayai sebuah keyakinan yang statis, transenden, universal ditengah lautan transformasi kebudayaan, nilai, dan theology ini. Karena arus perubahan tidak untuk diikuti arusnya, tetapi untuk dilawan sesuai dengan identitas kita sebagai kaum muslimin.






Wallahu A'lam Bi al Showwab























DAFTAR PUSTAKA






ü Abdullah, DR. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995

ü Abdullah, DR. Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

ü Bertens, DR. K, Filsafat Barat Abad Kontemporer: Prancis, Gramedia, Jakarta, 2001

ü Fakih, Dr. Mansour, Sesat piker Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist, Yogyakarta, 2001

ü Hardiman,F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche, Gramedia, Jakarta, 2004

ü Husaini, Adian, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press, Jakarta, 2002

ü Tafsir, Prof. DR. Ahmad, Filsafat Umum: Akal, Hati Sejak Thales Sampai Chapra, Remaja Rosdakarya, 1999

ü Titus,Harold A. dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Alih Bahasa: HM. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984










[1] Bandingkan dengan pernyataan Amin Abdullah dalam Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 hal. 106

[2] Daniel L Pals, dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama,terj: I. Ridhwan Muzir, Irshisod, Yogyakarta, 1996 hal. 98
[3] DR. K. Bertens Filsafat Barat Abad Kontemporer: Prancis, Gramedia, Jakarta, 2001 hal. 353

[4] Tafsir, Prof. DR. Ahmad, Filsafat Umum: Akal, Hati Sejak Thales Sampai Chapra, Remaja Rosdakarya, 1999 hal. 190

[5] bandingkan denganAdian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press, Jakarta, 2002 pengantar hal. xxxix

[6] Abdullah, DR. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 hal. 25

[7] ungkapan tersebut merupakan bentuk ungkapan yang bersifat tetap, berasal dari luar yang dianggap sebagai kebenaran abadi (transendental), ia merupakan perintah langsung (imperatif).
[8] Lihat juga penggunaan istilah tersebut dalam Falsafah Kalam
[9] Harold A Titus. dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Alih Bahasa: HM. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984 hal. 388

[10] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche, Gramedia, Jakarta, 2004 hal. 253